Wanita Besi Dari Parung | Kembara Madani Eduka

Wanita Besi Dari Parung

Wanita Besi
Saya ingin menjuluki Kiswanti sebagai wanita besi karena memiliki “pendirian dan kemauan kuat” walapun bukan kepala pemerintahan. Di dunia kepustakawanan tidak diragukan lagi Kisanti adalah wanita besi yang telah banyak memberikan inspirasi kepada sesama wanita dan para penggiat literasi di Indonesia. Karena itu pada tahun 2012 Euis Siti Maemunah, aktivis Masyarakat Literasi Indonesia (MLI), saya dorong untuk meneliti kepribadian para penerima anugrah Jasa Dharma Pustakaloka salah seorangnya yaitu Kiswanti.

Banyak sisi menarik dari perjuangan Kiswanti, sebagai pejuang literasi yang memiliki pendirian dan kemauan kuat sebagaimana salah satu kriteria wanita besi versi Wikipedia, yang patut dipelajari dan diteladani oleh para pegiat literasi di tanah air. Inilah sesungguhnya menurut saya pahlawan tanpa tanda jasa itu:

“Kerudung putih yang sudah agak lusuh itu sedikit bergelombang dan bergetar karena terbawa oleh angin dan irama getaran dari sepedanya. Wajahnya yang penuh asa beserta senyuman dari hati terpoles dengan molek. Sambil menjaga keseimbangan, ia bertahan membawa semesta ilmu dalam tulisan-tulisan bernama buku. Sesampainya di tempat banyak orang berkumpul, ia siap bergerak. Hatinya mulai berderu untuk segera membagikan apa yang dipunya agar orang-orang tersebut dapat menikmatinya. Senyumnya pun akan mulai mengembang ketika seseorang berkata, “Bude Is, aku sudah selesai lho baca bukunya..”, kata-kata itu begitu bermakna baginya dan itu jauh lebih berharga dari bayaran materi. Siapa dia? Ya, dia adalah Kiswanti, perempuan kelahiran 4 Desember 1963 desa Ngidikan, Bantul.

Terlahir dari keluarga yang kurang mampu membuat dia tidak pernah memiskinkan dirinya dengan mengizinkan orang-orang di sekitarnya untuk mencemooh dan merusak keyakinan kemauan dirinya untuk maju dengan membaca.

Kesabaran dan kepintaran yang didapat dari membaca buku manjadi bekal Bude Is, begitu dia akrab disapa, dalam menjalani kehidupan yang sarat kemiskinan dan penolakan sejak usia belia. Gemar membaca merupakan kebiasaan yang ditularkan oleh ayahnya, Trisno Suwarno. Trisno adalah ayah tiri Bude Is yang selalu memberinya semangat hidup dan membekalinya dengan berbagai jenis bacaan.

Bude Is sadar betul, orangtuanya tidak mampu membiayai sekolah kelima anaknya. Ayahnya hanyalah seorang petani dan penarik becak. Tanggung jawabnya sebagai sulung, bude Is dengan keempat adiknya (dari pernikahan ibunya dengan Trisno) merelakan dirinya hanya lulus sampai Sekolah Dasar. Masih sangat lekat diingatannya bagaimana ayahnya, sang matahari hidupnya, dengan tatapan ayahnya yang sayu, menyesal, dan penuh permintaan maaf. Dan itu sungguh meluluhlantakan hati Bude. Bude hanya bisa menundukkan wajahnya dalam-dalam, menatap lantai tanah rumahnya kala itu di kawasan kumuh. Bude tahu diri dan menerima kenyataan pahit ini. Meskipun otaknya terbilang cemerlang, sering menjadi juara kelas.

“Maafkan kami ya nduk,” begitu yang terdengar Bude setelah permohonan maaf ayahnya terucap. Bude cilik hanya mengangguk lesu. Selain kasih sayang yang tulus dari perempuan yang mengasihinya itu, Bude cilik memang tak bisa berharap banyak. Pelita hatinya, ibu, adalah seorang bakul jamu gendong yang meracik sendiri dagangannya dan berkeliling menjajakan jamu tersebut berangkat atas nama harapan. Harapan apa yang digendongnya itu setidaknya dapat membantu suaminya untuk bersama menafkahi keluarga.

Bude tak pernah ingin menyalahkan ayahnya. Justru ayahnyalah yang mengenalkannya pada buku sehingga Bude merasa kecanduan. Kecanduan yang membuat dirinya begitu teradiksi oleh zat bernama buku. Sejak kecil, Bude cilik suka sekali membantu ibunya, Tumirah, meracik jamu. Ayah Bude akan mengangkatnyya, kemudian meletakkan bude di hadapan guntingan-guntingan koran yang penuh dengan huruf-huruf berserakan.

Bude cilik pun tenggelam dalam dunia kata. Setiap kesempatan, ada bacaan, entah itu sobekan Koran atau bagian buku yang tercecer, bude cilik akan membacanya dengan lahap sekali. Pendeknya, dimana saja dan kapan pun, jika ada buku bacaan, pasti dibacanya!

Untuk mendapatkan buku bacaan, Bude rela melakukan apapun. Waktu kecil, Bude bersama saudara-saudaranya sering mencari buah melinjo yang berjatuhan di malam gelap. Mereka pergi menyusuri kebun demi kebun, memunguti butir demi butir melinjo yang berserakan di tanah. Buah-buah melinjo yang sudah terkumpul, dimasukannya ke karung lusuh. Kemudian, mereka akan membawanya ke pasar begitu pagi datang. Hasil penjualan melinjo langsung dibelikannya buku. Jika sudah berhasil membeli buku bacaan, dunia bagi Bude rasanya akan cerah ceria dan terang-benderang.

Jadi, meskipun sudah putus sekolah, Bude tetap berusaha mengikuti pelajaran sebagaimana kawan-kawannya yang sekolah. Bude belajar melaui buku-buku bekas, tanpa guru dan tanpa ruang kelas. Sesekali bude bertanya kepada rekan-rekan pelajar atau mahasiswa. Mereka banyak kos di sekitar kampung Bude, dan tak jarang itu menjadi bahan tertawaan mereka. Tapi beliau tak peduli. Bagi Bude, yang yang dilakukannya itu demi meningkatkan ilmu pengetahuan adalah halal dan baik adanya.

Ternyata, kegigihannya meningkatkan wawasan itu berbuah kebaikan juga, Bude seringkali menjadi “guru” luar sekolah, tempat kawan-kawan sebayanya bertanya, minta diarahkan dalam mencerna ilmu mereka. Demikianlah kesehariannya kala itu selain membantu orang tua mencari nafkah dengan jamu gendong, sampai usia remaja ketika teman-temanya telah lulus SMA.

Dunia luas tak ingin ditutupinya, ia ingin menjelajahinya. Terlebih untuk meningkatkan wawasan serta pengetahuannya. Hasratnya tetap menggelak dalam dada, haus akan ilmu semakin mendahaga dan menuntut jiwa Bude. Tercekik dalam kondisi ekonomi, namun Bude tak pernah kehilangan nafas semangat balajarnya walau hanya sekedar belajar autodidak melalui buku sebanyak-banyaknya, tanpa batas. Tanpa titik, yang ada hanyalah koma.

Bude melihat kampung halamannya bukan tempat yang tepat memperoleh buku yang dibutuhkannya. Di tempatnya, buku merupakan sebuah kemewahan, barang yang mahal. Maka Bude memutuskan untuk pergi merantau. Ibukota tujuan utamanya!

Bude sudah bertekad dan memutuskan pilihan hidup. Suatu malam, diam-diam Bude menjual sekarung gabah simpanan ayahnya. Tujuannya hanya satu: membeli tiket kereta api ke Jakarta. Bude sudah bulat tekadnya akan bekeja sebagai pembantu rumah tangga demi memperoleh uang untuk membeli sesuatu yang sangat dicintainya, buku.

Menjadi pembantu rumah tangga adalah tugas yang disanggupi Bude. Ia tahu caranya menyapu, meski belum mahir mengepel, karena rumahnya di bantul hanya beralaskan tanah. Melihat begitu banyak buku di rumah majikan, yang adalah warga Negara Filipina, Bude semakin betah. Ia bahkan minta digaji dengan buku.

Meski pada awalnya sang majikan merasa heran, namun Bude menjelaskan keingininan dirinya. Walhasil Bude naik pangkat. Tugasnya kini bukan lagi PRT tetapi babysitter. Bude diminta menemani anaknya belajar matematika dan bahasa Indonesia. Bude pun menjadi paham tempat belanja buku murah di Kwitang, kawasan Senen Jakarta Pusat. Sang majikanlah yang membukanya jalan menunju surga belanja buku ala Bude.

Koleksi Bude pada tahun 1987 telah mencapai 1.500 eksemplar, dan saat itu Bude memutuskan kembali ke Bantul. Namun nasib berkehendak lain. Bude menerima tawaran Ngatmin untuk menikahinya. Bude berkata, “ Pria ini adalah orang ke-19 yang mengajak saya menikah, dan saya terima.” Sambil mengenang dimana usia 26 tahun pada 1987 bude menempuh hidup baru bersama seorang lelaki yang bersedia berbagi dengannya.

Menikahi Ngatmin, membuka perjalanan baru bagi Bude. Ngatmin, yang lebih akrab dipanggil pakde ini bekerja sebagai buruh membawa Bude yang seorang pecinta buku bertualang dari bedeng ke bedeng.

Bude menjalani pernikahan dengan saling menguatkan bersama suami. Ibu dari Afif Riyadi dan Dwi Septiani sengaja membuat surat perjanjian pranikah sebagai bentuk penguatan keluarga. Bude terinspirasi oleh para biarawati yang mengabdikan diri melakukan sesuatu untuk kebaikan orang lain. Perempuan yang gemar membaca buku manajemen, inspirasi dan cerita anak ini selalu ingin mewujudkan mimpinya, berbuat sesuatu melalui buku.

Pemahaman tentang pentingnya perjanjian pranikah didapatnya dari membaca majalah wanita. Perempuan, katanya kalau sudah menikah seringkali menjadi konco winking dalam masyarakat jawa. Artinya, perempuan tidak bisa atau tidak boleh membuat keputusan, tidak bersuara. Kegusaran inilah yang dirasakan bude hingga akhirnya menerbitkan surat perjanjian bersama suaminya.

Ada empat syarat yang harus dipenuhi pakde yaitu: pertama, Bude boleh bekerja dan hasil kerjanya untuk koleksi buku, mewujudkan mimpinya membangun sekolah dan perpustakaan gratis. Kedua, pengasuhan anak dan urusan rumah tangga adalah tanggung jawab bersama keluarga dan dilakukan tanpa terpaksa. Ketiga, tidak ada perceraian kecuali kematian. Keempat, tidak ada affair ketika kehidupan ekonomi meningkat.

Bude menceritakan para lelaki yang berusaha melamarnya, rata-rata menyerah di poin kedua dan keempat. Dan pakde lah juaranya, lelaki biasa yang memiliki jiwa penuh untuk bersedia hidup suka maupun duka bersama Bude lengkap dengan impian-impiannya. Dan perjanjian itu pun ditandatangani pada 5 Agustus 1987 pukul 10.25 di atas materai termahal saat itu, Rp 3.000.

Bude membutuhkan perjanjian itu karena hanya ingin penguatan dalam rumah tangganya. Itu pun karena kecintaannya pada buku dan pengalaman masa kecilnya yang membuatnya lebih nyaman jika menikah dengan kesepakatan dengan harapan pernikahan akan lebih kuat karena dijaganya dengan penuh komitmen. Beruntungnya Bude bertemu suami yang mengerti keinginan istrinya, untuk mengabdikan diri melalui buku.

Latar belakang keluarga juga menjadi alasan lain Bude menbuat perjanjian dengan Pakde. Orangtua biologisnya bercerai setelah melahirkan anak pertamanya, yaitu diri Bude sendiri. Bude menuturkan bahwa ayah dan ibu menikah karena terpaksa, untuk menyenangkan orangtua. Mereka membuat kesepakatan setelah memiliki anak pertama dan keduanya akan kembali kepada pasangan masing-masing. Pengalaman ini semakin terasa pahit, karena Bude kerapkali disebut anak haram oleh keluarga barunya. Walau begitu, Trisno ayahnya tidak pernah membedakan Bude dengan empat anaknya yang lain. Ayahnya mendidik sepenuh jiwa dengan kemampuan maksimalnya untuk tumbuh kembang para penyemangat hidupnya.

Cemoohan, hinaan, dan perlakuan semena-mena kerapkali dialami Bude cilik, dengan keberadaannya sebagai anak tiri. Ditambah lagi dengan penampilannya yang berbeda dari yang lainnya. Berkulit gelap, tomboy dan memiliki beberapa bekas cacar di wajah sering membuatnya diperlakukan berbeda. Dan kenyataan pahit harus ditelan mentah-mentah sejak kecil. Penolakan demi penolakam sudah dirasakannya sejak kecil. Pesan Trisno, ayahnya yang selalu menguatkan Bude, “kita ini orang miskin saat dicaci, dihina, enggak usah menjawab. Percuma membalas, nanti malah sakit hati. Nrimo saja”. Ayah bagi bude adalah benar-benar tonggak yang selalu menguatkan kehidupannya yang rapuh kala itu.

Setelah menikah, Bude dan Pakde sempat tinggal di Jakarta. Namun, tinggal di pinggiran dan selalu mengalami kebanjiran membuat Bude kapok. Koleksi bukunya hilang dan rusak karena banjir. Mereka pun memutuskan pindah ke kampung saja, Desa Lebakwangi, Parung, Bogor.

Di Parung, Bude merajut mimpinya agar bisa terjalin cepat. Sejak pertama kali menginjakkan kaki di Parung 1994. Bude tidak patah harapan mengenalkan buku dan kebiasaan membaca dan bercerita kepada anak-anak.

Keceriaan selalu ia bawa disetiap misinya. Bagi Bude pekerjaannya ini adalah pekerjaan yang memanusiakan manusia. Dimana perkerjaannya tersebut memberikan asa disetiap kendala tantangan yang ada, bahwa manusia berhak mendapatkan apa yang seharusnya didapatkan seperti pendidikan. Bagi Bude, belum semua orang bisa memanusiakan manusia. Karena bagi kebanyakan orang, ketika ia memliki pangkat jabatan yang tinggi berlimpah materi mereka cenderung tidak bisa memanusiakan, menutup nurani. Seharusnya mereka berterima kasih pada orang-orang miskin, dengan keberadaannya mereka bisa disebut orang kaya.

Wanita paruh baya yang selalu bersinergi dengan kehidupan ini selalu memberikan semangat bagi orang-orang di sekitarnya. Motivasi dirinya tidak ingin ada lagi orang yang sedih, membuat dirinya selalu memikul kehangatan kebahagiaan berbagi bersama masyarakat. Seringkali beliau menjadi tempat bertanya mengapa Bude selalu bersemangat. Sambil tersenyum dengan raut simfoni manis asam kehidupan, beliau berkata “ Semangat itu hadir dari diri kita. Wujud dari rasa syukur kita. Menyenangkan orang itu bisa dilakukan dengan banyak hal, bukan hanya dengan harta jabatan. Bude gak mau anak-anak lebih betah di perpustakaan daripada keluarganya sendiri. Dan saya pun gak pernah sayang mengeluarkan uang untuk berbagi. Allah Maha Kaya. Pekerjaan ini adalah pekerjaan yang memanusiakan manusia. Ibadah. Inilah pekerjaan sosial.”

Orientasi hidupnya adalah mengerjar keberkahan bukan kemenangan. Bagi Bude, apalah arti kemenangan tapi tidak ada keberkahan di dalamnya. Biarlah peluh yang dirasakannya menjadi keberkahan, hingga pada tahun 2005 bude terkena penyakit liver dan itu memaksa dirinya untuk tidak terlalu memforsir tubuhnya dalam menggarap jalan hidupnya di dunia pustaka ini. Wanita pecinta buku Totto Chan ini pun sadar, dirinya harus memberikan hak tubuhnya untuk tidak terlalu lelah. Maka ia memutar otak mencari cara yang akhirnya ia lebih memfokuskan pada lingkungan sekitarnya. Dan untuk tugas berkeliling, digantikan oleh suami tercintanya ketika Pakde memiliki waktu luang.

Dirinya yang kini telah berlimpah penghargaan tak pernah menyangka bahwa akan seperti sekarang ini. Berbagai penghargaan tersebut diantaranya Netty Award 2011 sebagai perempuan inspirator, Katini Award 2009 sebagai wanita terinspiratif kategori sosial, Nugra Jasadarma Pustaloka 2008, Kabupaten bogor 2009 sebagai tokoh wanita inspiratif penggerak pembangunan, Anugerah Oasis 2008, Anugerah Pengabdi Budaya Baca 2008 dari Departemen Pendidikan Nasional, dan masih banyak lagi.

Ibu tomboy ini berujar bahwa apa yang didapatnya saat ini adalah merupakan pemberian Allah, bonus dari semuanya untuk orang banyak. Berbagi menjadi hasrat hidupnya hingga ia pernah meminta kesediaan anak pertamanya, Afif, untuk menunda sekolah tinggi-nya untuk biaya Taman Baca Warabal-nya.

Jelang hari ketika memasuki periode waktu yang baru, Bude mengawalinya semua dengan terencana. Hidupnya penuh dengan efisiensi waktu dan efektivitas. Sambil menyenandungkan lagu “Seraut Wajah” dari Ebiet G. Ade, ia memiliki prinsip bahwa hari baginya bukan 7 namun 3; kemarin, hari ini, dan esok. Dalam benaknya keinginannya yang terus membuncah hanyalah kepeduliannya terhadap anak-anak dan orang-orang di sekitarnya mau membaca.

Bude selalu belajar dari kehidupannya, Tuhan telah menempa dirinya sejak kecil agar kelak Bude dewasa menjadi kuat dan memang itulah yang terjadi. Cibiran, tentangan, dan tantangan menjadi makanannya selama hidup 47 tahun ini.

Dia teringat ketika pertama kali membangun taman bacaan di depan rumahnya. Bangunan itu berukuran 4x10 m2, dengan bantuan masyarakat perpustakaan itu pun berdiri kokoh di antara perkampungan yang masih dipenuhi oleh pepohonan. Saat pembangunan perpustakaan tersebut, terjadi peristiwa yang menohok asa Bude dalam membangun rumah semesta ilmunya. Ketika itu telah tiba waktu makan siang, Bude pun mempersiapkan makanan siang untuk para pekerja yang terdiri dari bapak-bapak yang sukarela membantu dalam pembangunan taman bacanya. Aroma sajian Bude yang menggoda kala itu dengan lauk pauk berupa daging saus tiram, tumis udang petai cabe merah. Iman perut mana yang sanggup menahan godaan sajian tersebut dikala keringat telah mengucur. Tak lupa rayuan sirup jingga pun mendayu-dayu tenggoran kering mereka. Dengan sigap para pekerja menikmati sajian bude.

Ya, keceriaan santap siang mereka begitu terasa. Hari telah sore, mereka pun kembali pulang ke rumahnya masing-masing. 

Keesokan harinya, tidak terlihat oleh Bude para bapak yang biasa membantu membangun taman bacanya tersebut. Namun, Bude mendengar kabar bahwa mereka sakit. Tak pelak itu membuat kabar tak sedap dari warga, fitnah pun terlontar dari mereka. Warga berujar bahwa Bude hanya ingin gratis, dan menjadikan para sukarelawan tersebut sebagai tumbalnya supaya Bude dapat terkenal. Ia sangat merasakan tekanan dari warga kala itu, setiap kali ia melewati sekelompok ibu-ibu, ibu-ibu tersebut memicingkan matanya dengan sinis sambil mulutnya komat-kamit pada ibu-ibu yang lainnya. Dunia runtuh baginya kala itu. Tak ada juang yang terbayar, tak ada asa yang bersisa. Ia hanya bisa duduk lemas di ruang tengah rumahnya. Sambil menerawang kosong, tergerak bibir bude berkata dengan payah tanda daya upaya, “Ya Allah jika aku harus mati saat ini aku siap daripada aku harus menerima omongan-omongan itu”. Tak lama kemudian, tanpa terasa bude pun jatuh pingsan selama 2 jam. Tersadar kembali sendirian, beliau bangun dari pingsannya. Ia tahu ia harus melakukan sesuatu. Ya, sesuatu untuk memperbaiki kesalahpahaman warga padanya. Akhirnya Bude mengunjungi satu persatu para sukarelawan yang membatu pembangunan taman baca-nya. Dan terjawab sudah, mereka sakit bukan karena keracunan masakan yang dihidangkannya namun merupakan akumulasi dari apa yang telah terjadi sebelumnya pada masing-masing kondisi tubuh para sukarelawan. Masalah tersebut pun selesai dengan sendirinya seperti hujan badai yang pasti berlalu walau masih terlihat bekas-bekasnya namun itu akan mengering dan rata kembali seperti semula.

Bude selalu bersyukur menjadi lahan kemarahan bagi orang-orang di sekitarnya. Dimana bude sendiri pun bingung atas rasa syukur tersebut. Hanya saja Bude percaya bahwa hanya kesia-siaan belaka jika Bude pun balik emosi dan hanya akan menghasilkan pertengkaran hebat. Di bibirnya selau terucap rasa terimakasihnya pada Tuhan karena digerakan oleh-Nya untuk tidak membalas dendam pada orang-orang yang telah menyakitinya. Mereka lah yang telah menguatkan perjalanan langkah hidupnya. Memiliki Tuhan Yang Maha Besar membuatnya tidak pernah ragu untuk memaksimalkan keterbatasan yang tersedia, karena apa yang terjadi itu tidak lepas dari ketentuan-Nya.

Berbagai fase kehidupan telah diecap Bude, dari yang sangat pahit hingga manis sekalipun seperti sekarang ini. Masa-masa miskin merajai kehidupannya, dicemooh orang dengan status kemiskinannya, masa remaja yang penuh dengan perjuangan telah dilewatinya. Bekerja, menikah, memiliki anak bahkan sepasang putra putri telah dimilikinya. Kepuasan beserta kegamangan menghinggapinya dengan pertanyaan, lalu apa yang harus dilakukannya lagi. Semua tahap telah dilewatinya. Sulit memang jika dipikirkan, tapi Bude tidak mau berpikir seperti itu. Sedikit pun. Dalam keyakinan dirinya yang penuh dengan ajaran, Bude menancapkan patok dalam jiwanya untuk tidak sekali-kali berkata bahwa dirinya memiliki masalah yang besar. “Ya, saya menghadapi masalah yang besar saat ini, tapi saya punya Tuhan Yang Maha Besar, Allah. Masalah itu tidaklah lebih besar dari Allah. Terkadang orang terpuruk dengan perkataan masalah besar versinya. Lha? Kita punya Allah kok. Allah Maha Besar. Karena kita terlalu memikirkan masalah itu, jadinya besar” ucapnya dengan mantap.

Berkiprah bersama masyarakat, membuat Bude mengerti kondisi masyarakat kita yang memang terobsesi pada hal-hal yang instan. Selain itu, masyarakat kita pun ketika melihat keberhasilan orang lain belum bisa mengakui dan lebih senang mengolok-oloknya. Bude paham betul dengan membaca dapat merubah pola pikir seseorang. Dan peluh perjuangannya kini telah menuai hasil, bukti pengorbanan serta keringatnya selama ini. Berbagai penghargaan telah diterimanya karena kemuliaan hati dengan tekadnya yang keras. Namun bagi Bude, penghargaan yang diterimanya adalah sebuah bencana. Dimana akhirnya kebaikan yang ia tanam diam-diam telah tercium ke segala penjuru. Mau tak mau, ia harus dengan rekat menjaga hatinya agar si sombong itu tak menguasai dirinya. Ini menjadi tanggung jawab tersendiri baginya. Penghargaan ini orang lain yang memberikan bukan atas permintaan dirinya. Hingga kadang jengah, lelah untuk terus diminta hadir dalam berbagai penghargaan karena itu bukanlah yang diinginkannya, bukan orientasinya selama ini.

Di taman bacanya kini yang lebih luas, sengaja dijajarkan dengan rapihnya penghargaan-penghargaan berbau pemerintah. Hanya itu yang beliau gantungkan di tembok kokoh taman bacanya. Bude ingin menunjukan pada masyarakat apa arti semua pernghargaan tersebut untuknya. Tidak ada. Ia hanya ingin memberikan pemahaman ketika seseorang bertanya padanya, “Bu, dapet hadiah apa dari penghargaan ini bu?” tidak ada, hanya kertas. Dan nanti seseorang itu pun akan lanjut berujar, “Emang ya kalau dapet penghargaan dari pemerintah itu gak dapet apa-apa”. Dan Bude biarkan mereka yang berujar sendiri. Itu hanya visualisasi sederhana yang dibuat oleh Bude tentang pemerintahan. Namun, di antara menggunungnya penghargaan yang diraih Bude ada beberapa penghargaan yang justru itu membuat dirinya merasa benar-benar dihargai yaitu ketika beliau menjadi dosen tamu di London School of Public Relations, yang notabene-nya perguaruan tinggi tersebut merupakan perguruan tinggi elit tapi tempat tersebut memberikan ruang pengakuan bagi keberadaan Bude untuk mengajar mereka para kaum perlente. Baginya itulah penghargaan yang sebernarnya, penghargaan dimana keberadaan kita benar-benar terasa diakui, dihargai dalam desah nafas perjuangannya di dunia ini.

Menjadi relawan sosial menjadi rutinitasnya kini, keluar kota, pulang pergi keluar pulau Jawa, bahkan terakhir beliau menjadi relawan di Thailand dan Filipina dengan sebuah yayasan di ibu kota. Dan sejak seringnya Bude mendapat penghargaan beserta undangan yang tiada henti, ada kerinduan yang meledak. Kerinduan dirinya hadir bersama masyarakat di sekitarnya seperti dulu kala dengan sepedanya. Namun, Bude mengerti ini lah jalan yang ia harus tempuh. Di manapun Bude berjuang, disitulah nilai ibadah akan selalu mengucur. Baginya, di setiap dirinya bergegas menuju tempatnya berjuang seperti menghelakan nafas sambil berucap, “ Titip rindu untuk masyarakat Warabal-ku Tuhan..”. Dan kini yang sering Bude panjatkan ketika menengadah meminta izin Tuhan untuk melancarkan derap ikhtiarnya adalah permohanan kekuatan, ketetapan iman serta Islamnya. Pencerah pustaka yang menjadikan membaca sebagai hasrat memanfaatkan sisa-sisa umurnya dalam balutan iman serta Islam, bukti pengabdiannya pada Tuhan.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Wanita Besi Dari Parung"

Post a Comment