Visi hidupnya seketika berubah setelah mendaki
gunung Himalaya yang berlokasi di Nepal. Dia tinggalkan kehidupan mapan kelas
atas di Amerika. Jabatan mentereng di perusahaan terkenal Microsoft dengan
gaji yang besar dtinggalkannya. Bahkan dia rela ditinggalkan calon istrinya
yang cantik, karena sang calon istri tidak mau memiliki suami yang tidak jelas
masa depannya. Semua kemapanan dan kenyemanan hidup dia tinggalkan hanya untuk
membangun perpustakaan sekolah di negara-negara miskin seperti Nepal. Tapi,
itulah John Wood sebagaimana dituturkan dalam karyanya Room to Read.
Tidak kurang dari 7000 perpustakaan didirikannya untuk membantu pendidikan di
negara-negara miskin.
Memang terkadang aneh membaca
kisah manusia yang disebut pahlawan atau orang besar seperti John Wood. Itu
semua terjadi karena setiap manusia memiliki nilai yang berbeda yang membuat
dirinya unik dari yang lain. Seperti sebuah kisah dalam buku Sang Pralambang
karya Kahlil Gibran (Jakarta: Pustaka Jaya, 1989) berikut:
“Suatu hari seseorang yang
menggali di ladang menemukan patung pualam yang amat indah. Dibawanya patung
itu pada seorang pengumpul dan pencinta barang kesenian. Patung itu dijualnya,
dan ia menerima uang banyak sekali. Sambil berjalan pulang membawa
uang itu ia berpikir dan berkata dalam hati, ‘Alangkah besarnya manfaat uang
ini bagi hidup! Mengapa ada orang yang mau memberikan uang sebanyak ini hanya
untuk sebuah batu pahatan yang sudah terpendam seribu tahun?”.
Saat itu si pengumpul barang
kesenian tengah mengamati patungnya. Ia berpikir dan berkata dalam hati,
‘Alangkah indahnya! Menakjubkan. Impian jiwa, dan tetap segar bersama peluh
tidur seribu tahun. Mengapa ada orang yang mau memberikannya hanya untuk uang,
yang hambar dan lesi?’.
Jauh dari Amerika, negaranya
John Wood, tepatnya di Desa Gunung Hejo Kabupaten Purwakarta Jawa Barat
terdapat seseorang yang memiliki semangat yang sama dengan John Wood dalam
membangun perpustakaan. Semangatnya sama. Pengabdiannya sama. Tetapi buah
karyanya memang berbeda. Karya seseorang sesuai dengan kapasitas dirinya. Besar
kacilnya karya seseorang sesuai dengan bingkai pikirannya. Dia hanyalah seorang
tua yang sederhana baik ekonomi maupun pendidikannya, akan tetapi memiliki segudang prestasi dalam rangka
“ikut serta dalam mencerdaskan kehidupan bangsa” sebagaimana tertuang dalam
Mukadimah UUD 1945, namanya Djuju Djunaedi yang biasa disapa dengan Abah Udju.
Untuk mengenal lebih jauh
profil pahlawan literasi ini, berikut cerita yang dibuat oleh Euis Siti
Maemunah, aktivis Masyarakat Literasi Indonesia (MLI), yang selama sebulan
lebih hidup bersama keluarga Abah demi mendalami kepribadiannya:
“Mata kedua orang yang
berbadan tegap itu menatap tajam pada buntelan yang digendong dibahu Abah Udju.
Dengan ucapan yang kasar mereka memaksa Abah Udju untuk berhenti dan
menyerahkan gendongannya. Tanpa perlawanan, Abah yang sudah berumur setengah
baya ini, menyerahkannya pada mereka. Tanpa basi-basi lagi kedua orang tersebut
membongkar paksa buntelan yang di bawa Abah. Mereka mengaduk-aduknya mencari
barang yang berharga, akan tetapi tidak menemukannya. Mereka hanya menemukan
tumpukan-tumpukan yang tidak berarti bagi mereka, yaitu buku. Karena kesal
tidak mendapatkan hasil yang dinginkan, maka kedua orang tersebut
mengobrak-abik buku sehinga berserakan di tanah. Abah hanya bisa terdiam dan
berkaca-kaca. Kemudian kedua orang itu pun berbalik ke arah Abah. Dengan penuh
ancaman mereka menyuruh abah untuk menyerahkan semua isi sakunya. Uang yang
hanya tiga ribu rupiah itu pun, hasil dari uang sewa buku yang diberikan secara
sukarela, diserahkan Abah. Mereka lantas pergi dengan bersungut-sungut. Dengan
berlinangan air mata Abah memunguti buku-buku yang berserakan ditanah dan membungkusnya
kembali. Dengan hati yang sedih dia pun pulang ke rumah.
Itulah sepenggal peristiwa
nyata yang pernah dialami Abah dalam melakoni hidupnya sebagai pemilik dan
sekaligus pengelola Perpustakaan Saba Desa yang berlokasi di Kampung Ngenol RT 10/03
Desa Gunung Hejo Kecamatan Darangdan Kabupaten Purwakarta. Sebuah desa yang
dimana menjadi tempat keberadaan kediaman Abah Udju.
Hawa sejuk dengan rimbunnya
pepohonan menjadikan rumah beliau memiliki sensasi tersendiri. Berada di
sekitar perkebunan PTPN yang kini sedang dalam masa pensterilan sebelum kembali
ditanami, Abah Udju menyiasatinya dengan bercocok tanam segala macam tanaman
baik sayuran, maupun buah-buahan.
Kondisi sosial di lingkungan
Abah Udju masih sangat kondusif, semangat gotong royong masih terasa. Terlebih
ketika ada momen pengajian, para ibu berbondong-bondong dari lembah bukit
menuju hulu untuk menjalankan ibadah mulia tersebut.
Mengingat dominasi daerah
tersebut dimiliki oleh PTPN VIII, itu juga menjadikan mayoritas penduduk
berprofesikan sebagai pekerja di PTPN. Namun, tidak halnya bagi penduduk
wanita, kebanyakan dari mereka mencari peruntungan dengan menjadi TKW, banyak
sekali baik gadis, maupun wanita yang sudah lanjut usia mengadu nasib di negeri
orang. Jadi tidak aneh banyak anak yang belum sempat meilhat ibunya semenjak
dia lahir karena pasca melahirkan ibunya harus segera pergi untuk bekerja
sebagai TKW.
Djuju Djunaedi dilahirkan di
Bandung pada tanggal 17 Maret 1949. Anak kedua dari sepuluh bersaudara ini hanya
berhasil mengecap pendidikan Sekolah Rakyat (sekarang Sekolah Dasar) Cidadap.
Dan melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama, namun sayang tidak dilanjutkannya
karena sesuatu. Semenjak kecil Abah sudah tinggal di Sukabumi, yang dia sendiri
tidak mengingat sejak kapan dia mulai tinggal di Sukabumi, disana Abah tumbuh
bersama saudara-saudaranya. Namun yang ada dalam benaknya adalah spekulasi
tentang kenapa harus dia yang di Sukabumi sedangkan saudara-saudara lainnya
tinggal di Bandung. Rupanya Tuhan mendengar keluhan Abah, maka Abah kecil yang
saat itu berusia 7 tahun dibawa ke Bandung untuk tinggal bersama ibunya.
Sewaktu kecil, Abah senang membaca, ia gemar membaca majalah Mangle yang
menjadi majalah langganan keluarganya. Maka tak heran kini abah begitu loyal
terhadap majalah berbahasa Sunda tersebut dengan rajin mengirimkan hasil
tulisannya.
Bagi Abah, masa kecil adalah
masa dimana ia belajar banyak hal seperti melukiskan pelangi yang dengan
mudahnya ia dapat merasakan keindahannya. Saat sekolah dasar, ia adalah seorang
anak yang biasa-biasa saja namun selalu merasa terinspirasi pada apa yang
dikatakan oleh gurunya yang bernama ibu Tuti Setiawati. Ya, beliau adalah istri
dari mantan wakil presiden kita yang keenam, Tri Sutrisno. Abah kecil menyaksikan
romansa sepasang kekasih yang begitu ideal. Dimatanya pak Sutrisno adalah sosok
lelaki ideal dan sangat cocok menjadi pasangan gurunya tersebut. Hal yang
paling diingat dari gurunya tersebut adalah beliau pernah berpesan pada
murid-muridnya. Dengan sikap sempurna murid nan hormat mereka termasuk abah
kecil bersiap untuk mendengar wejangan gurunya yang cantik, “Anak-anak,
hirup teh ngariung babarengan. Sing balener, jujur, hormat ka ibu bapak. Sing
rajin da kuda lari dapat diburu, nasib diri siapa yang tahu..” (anak-anak,
hidup itu bergandengan. Berlakulah benar, jujur, hormat pada ibu bapak.
Belajarlah yang rajin karena kuda lari dapat diburu, nasib diri siapa yang
tahu). Kata-kata tersebut sepertinya terpatri dalam benak Abah, karena
bagaimana tidak abah menjalankan kehidupannya dengan penuh rasa, peka terhadap
lingkungan, serta jujur. Mengingat Ibu Tuti kembali membuat dirinya terkekeh
akan kejahilannya di masa lalu.
Menjadi ketetapan dan
kodratnya waktu ialah berjalan terus, masa sekolah dasar telah ia lalui dengan
penuh riang hati. Memasuki usia Sekolah Menengah Pertama, ia pun mulai
menghadapi masalah-masalah kehidupan yang sering membuatnya bertanya. Entah
mengapa, selama bersama ibunya ia belum menemukan kenyamanan, perasaan diskriminasi dengan saudara-saudara kandungnya kerapkali hinggap di benaknya.
Perasaan takut sepertinya yang mendominasi akan penggambarannya tentang ibu.
Tidak hanya sekali dua kali Abah menjual seragam barunya untuk dijual dan
dibayarkan ke tagihan sekolah karena rasa takutnya hingga tidak mempunyai
keberanian untuk meminta uang pada ibunya. Kegalauannya makin memuncak saat
Abah menginjak remaja berusia 13 tahun, daripada hidup terkekang bersama ibunya
ia lebih baik pergi. Akhirnya Abah memutuskan untuk kabur dan tidak bersekolah
kembali. Abah memantapkan dirinya kabur ke Sukabumi dari Bandung dengan
menggunakan sepeda. Susah payah mengayuh sepeda tidak terasakan, rasa kesal dan
emosi yang membuncah sepertinya yang menjadi bahan bakar semangatnya untuk
sampai di tujuan. Selama perjalanan, untuk menghemat energi sesekali Abah
berpegangan pada bagian ujung truk saat perjalanan menanjak.
Dengan hati gamang dan tak ada
tujuan akhirnya Abah tiba di Sukabumi. Dalam benaknya terpikir untuk bekerja
serabutan mengisi waktu-waktu kosong sambil menunggu nasib baik datang padanya.
Pekrjaan yang paling lama dilakoni adalah bekerja membantu nelayan. Hingga
suatu saat ketika sedang melaut, kapal yang ditumpanginya mengalami kebocoran.
Tak ada pilihan lain, mau tak mau awak kapal termasuk Abah harus terjun ke
lautan luas yang tak pasti. Awak satu dengan awak lainnya saling bermaafan,
karena mereka sadar bahwa tidak ada jaminan bahwa mereka akan selamat. Hanya
harapanlah yang menjadi tumpuan mereka. Abah akhirnya terapung-apung di lautan luas
dengan hanya bermodalkan jerigen agar tidak tenggelam.
Panas terik sinar matahari
yang membakar kepala dan aroma air laut yang memenuhi hidungnya membuat Abah
terserang halusinasi. Abah merasa hidupnya sebentar lagi akan selesai.
Akan tetapi Tuhan memiliki rencana lain. Tiba-tiba Abah merasakan ada sesuatu
yang aneh mengenai badannya dan jerigen yang dipegangnya tersebut terasa ada
yang mendorong. Ya, ternyata memang ada yang mendorongnya menuju tepian laut.
Sungguh seperti dalam mimpi ternyata Abah didorong oleh kawanan lumba-lumba
untuk mencapai tepian pantai. Harapan untuk hidup timbul kembali. Akan tetapi
laut sepertinya ingin bermain-main sejenak dengan nasib Abah. Tiba-tiba
gelombang yang besar menghantamnya dan mengembalikan Abah ke tengah lautan.
Hatinya pasrah, berserah pada Tuhan. “Hanya ada Tuhan dan saya” kata Abah kala
itu. Akhirnya Abah tak sadarkan diri, ketika siuman dan membuka mata ternyata
dirinya telah berada dalam perahu seorang nelayan bernama mbah Minta.
Mengetahui Abah telah sadar, mbah Minta segera menyuruhnya untuk minum dan
setelah merasa agak sehat Abah diminta menceritakan apa yang terjadi. Setelah
sampai di tepian pantai Abah disuruh masuk ke sebuah gubuk untuk beristirahat,
sedangkan mbah Minta menuntaskan aktivitas nelayannya di hari itu.
Setelah beberapa saat bermukim
di kediaman mbah Minta akhirnya Abah memutuskan untuk kembali ke Bandung.
Karena selama 12 tahun tidak pernah bersua dengan keluarga terutama ibunya. Ia
tak peduli lagi akan seperti apa jadinya ketika dia tiba di Bandung. Ia siap
dengan kondisi terburuk sekali pun. Keinginan itu akhirnya mendorong Abah untuk
berpamitan kepada mbah Minta. Sungguh baik hati keluarga mbah Minta, walau
hidup dengan segala keterbatasan, tetapi sudah menjadi fitrah manusia rasa
ingin memberi itu selalu ada. Mbah Minta sekeluarga memberikan uang saku dengan
beberapa camilan untuk keluarga Abah di Bandung.
Panas terik menemani
perjalanan Abah ke Bandung, bayang-bayang sosok ibunya juga sangat bersahabat
sekali dengan jiwanya kali itu. Dan ketika Tuhan dengan kuasa-Nya mengizinkan
mempertemukan anak dengan ibunya, itu adalah saat-saat yang mengharukan.
Bagaimana tidak, 12 tahun tidak bertemu dengan anaknya. Segala prasangka
hinggap di pikiran sang ibu akan nasib anaknya. Namun kini, ia bisa bertemu
dengan anaknya tepat ketika abah berusia 25 tahun. Sujudnya seorang anak kepada
ibu sebagai tanda permintaan maaf, air mata menjadi wujud harapan akan
diterimanya permohonan maaf sang anak. Ibu dengan rasa kasih sayangnya yang
tiada tara, hati seorang wanita yang selalu menyelipkan kata maaf terhadap
kesalahan yang diperbuat anaknya.
Perjumpaan dengan ibunya
kembali juga memberikan jawaban mengapa ibunya seringkali membedakannya dengan
saudara kandungnya yang lain yaitu karena warisan. Jadi, selama ini Abah baru
mengetahui jika ayah purnawirawan yang ia miliki bukanlah ayah kandungnya, ayah
kandungnya yang berasal dari Sukabumi telah meninggal. Sepeninggal ayahnya,
saat pembagian warisan, keluarga dari Abah tidak mendapatkan warisan sediktpun
dan itu membuat sang istri, ibu dari Abah perih karena tidak mendapatkan apa
yang seharusnya menjadi hak anak-anaknya. Ibu tiada berdaya untuk marah pada
pihak keluarga almarhum suaminya, yang bisa ia lakukan kini adalah melampiaskan
segala kemarahan, kebenciannya pada abah. Hati teflon itulah yang mungkin
dimiliki Abah. Abah tidak ambil pusing akan hal tersebut karena baginya itu
sudah terjadi dan berlalu, yang ia cari kini adalah memperbaiki hidupnya
menjadi lebih baik.
Akhirnyua Abah memulai hidup
baru dengan bekerja di PTPN VIII sebagai operator di bagian pengolahan karet.
Sampai dia bertemu dengan seorang gadis belia cantik jelita bernama Heni Saeni
yang kini menjadi istrinya. Waktu berjalan secara dinamis pada kehidupan Abah,
selama dalam masa kerjanya pun Tuhan terus menempa dirinya. Disaat keluarganya
dikaruniai anak pertama, Edi Rohman, yang mungkin menjadi fase awal dari
kehidupan pergulatan dunia pustaka dimulai.
Cahaya lembut menerangi dunia,
dan lembutnya pun membias pada kasih sayang abah pada Edi. Suatu ketika Abah
mengajak Edi kecil nonton sirkus di Purwakarta. Saat perjalanan pulang Edi
melihat sesuatu yang baru, benda tersebut panjang terbelah-belah berjalan
beriringan dan melaju dengan cepat. Itu sangat menarik perhatian Edi, ia
bertanya pada Abah, “Bapak, itu mobil apa?”, dengan suara penuh kelembutan
seorang ayah, abah menjawabnya dengan tenang “itu kereta api nak..”. Semenjak
pertemuan Edi dengan kereta itu lah Edi terus bertanya.
Setiap pagi Edi meminta
digambarkan kereta api. Hal ini membuat Abah pernah terlambat masuk kerja dan
mengakibatkan dimutasi. Dari kejadian itu, Abah berpikir bagaimana caranya agar
tidak terlambat ke tempat bekerjanya tapi kerasaingintahuan Edi akan otomotif
tersebut bisa tetap terpenuhi. Akhirnya Abah membeli majalah untuk anaknya di
saat ia pulang bekerja, dan kebiasaan ini terus berlanjut hingga majalah
bertumpuk di lantai.
Sembari Abah bekerja, istrinya
pun ikut berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat yang notabenenya mereka
memiliki kesamaan sebagai pekerja di PTPN VIII. Istri Abah sering mengajar
ngaji karyawati perkebunan. Para karyawati tersebut seringkali datang mengaji
dengan membawa anak-anak mereka. Sementara ibu mereka mengaji, anak-anak duduk
manis sambil mereka mengamati banyak majlah di dalam rumah Abah. Sampai suatu
hari salah seorang murid mengaji ibu minta izin untuk menyewa salah satu
majalah tersebut yang membuat hati anaknya senang ketika membaca majalah
tersebut. Abah menolak, Abah beranggapan bahwa majalah tersebut bukan untuk
disewakan, tapi jika memang ingin meminjamnya Abah persilahkan. Dan itu membuat
hati Abah senang tiada terperi karena tumpukan majalah yang telah dibacanya
berguna bagi orang lain. Dan saat itu Abah berpikir, daripada majalah-majalah
tersebut ditumpuk terus-menerus akan lebih bermanfaat jika itu dibaca juga oleh
orang lain. Akhirnya hampir di setiap kegiatan pengajian berlangsung,
majalah-majalah lama selalu saja ada yang membaca dan membawanya pulang.
Pada tahun 1988,
Abah sudah mulai meminjamkan buku kepada para rekan kerjanya yang mengaji
Al-Quran di rumahnya. Semua itu berjalan hingga 2 tahun, yakni dari tahun 1988
hingga tahun 1990. Pada masa itu, Abah hanya meminjamkan buku di rumah saja.
Tidak menawarkan kepada siapapun, jika ada yang ingin membacanya atau meminjam
mereka sendiri yang datang ke rumah. Hingga pada suatu hari, sekitar 11 orang
mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) bermukim sementara di rumah abah. Keberadaan
mereka memberikan kontribusi tersendiri bagi perpustakaan yang kini
dimilikinya. Mereka tertarik dengan kegiatan Abah dalam meminjamkan koleksi
buku-buku abah. Dari mereka pula Abah menerima banyak saran tentang pengelolaan
perpustakaan. Abah menyetujui saran mereka, bahkan para mahasiswa ini pun
bersedia menyumbangkan majalah dan buku. Dari beberapa majalah yang mereka
sumbangkan, Abah membacanya terlebih dahulu agar mengetahui mana buku yang
memberikan banyak informasi yang tepat dan mana yang tidak. Karena Abah tidak
ingin para pembaca koleksinya membaca hal-hal yang tidak bermanfaat.
Tahun demi tahun, koleksi yang
dimiliki Abah menipis. Dengan kata lain, buku serta majalah yang dimilikinya
hampir semua telah dibagikan untuk dibaca bagi pembaca setianya. Hingga pada
suatu hari dari salah satu majalah yang dibacanya, Abah melihat sebuah tulisan
di bagian surat pembaca dari mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) yang
membutuhkan buku mengenai budaya Jawa. Tak berapa lama, Abah pun membaca
kembali surat ucapan terimakasih dari mahasiswa tersebut karena buku yang ia
cari sudah ia dapatkan dari salah seorang
pembaca surat kabar tersebut. Dan itu sangat menginspirasi Abah untuk mengikuti
caranya dalam menggalang buku dan majalah bekas. Lalu kemudian Abah mengirimkan
beberapa surat permohonan bantuan melalui rubrik surat pembaca ke
majalah-majalah, dimana surat tersebut berisikan tentang permohonan bantuan
berupa majalah atau buku bekas untuk perpustakaannya. Tuhan kembali mendengar
permohonan Abah dengan cara menggerakan hati para pembaca rubrik surat pembaca
tersebut menyumbangkan buku-buku bekas dan majalah-majalah 10 hari kemudian.
Karena Abah melihat antusiasme
membaca pada anak-anak ibu pengajian begitu tinggi, timbullah keinginan Abah
untuk menumbuhkan hal yang sama pada warga di lingkungan rumahnya. Minat baca
masyarakat di daerah rumah abah masih tergolong rendah, karena menurut mereka
membaca itu hanya perkerjaan orang berpendidikan tinggi. Selain itu mereka menganggap
bahwa membaca hanya pekerjaan orang-orang kaya, orang perlente. Tapi Abah tidak
pernah mengijinkan orang lain merenggut keinginannya untuk membuat orang-orang
di sekitarnya gemar membaca.
Dengan langkahnya yang tiada
gontai sambil membawa buku-buku yang terbungkus kain yang dikaitkan pada
pundaknya. Abah yakin benar, dengan membaca seseorang dapat mengetahui
informasi di luar sana yang tidak terjangkau oleh kita, dengan membaca
seseorang dapat membuka jendela dunia. Bersimbah peluh, perjalanannya selama
dua minggu Abah berkeliling tidak ada yang tertarik membaca majalah dan buku
yang dibawanya. Ikhtiar dan tawakal, seperti itulah Abah menjalani
perjuangannya yang penuh dengan tekad dengan niatan tulus akan kebaikannya,
harapan semoga saja ada yang berminat untuk membaca meskipun hanya satu orang
terus membuntutinya.
Hingga suatu hari ada seorang
pelajar SMEA yang memanggil Abah. Dia berkata bahwa dia dan teman-temanya
mendapat tugas di sekolahnya untuk mengumpulkan kiping mengenai bencana alam.
Dan Abah dengan senang hati menawarkan majalah yang dibawanya. Pelajar ini
terkejut dan bergembira mendengar tawaran dari Abah tersebut karena menemukan
kliping yang dicarinya pada majalah-majalah yang Abah bawa. Ketika Abah datang
kembali ke rumahnya untuk mengambil majalah itu, dia meminta maaf sambil
terlihat di matanya menahan air mata dari rasa bersalahnya karena majalah yang
dipinjamnya digunting untuk keperluan tugas sekolah. sebagai gantinya ia
menawarkan ganti rugi berupa uang. Namun Abah menolaknya dan Abah hanya
memintanya untuk membawa teman-temannya untuk
ikut membaca. Perasaan lega yang membungkus hati gadis itu kini, dan ia pun
dengan mantap mengiyakan permintaan Abah tersebut. Akhirnya dia mengajak
teman-teman, tetangga, bahkan keluarga besarnya untuk membaca majalah-majalah
yang dibawanya.
Setiap pulang bekerja, di
perkebunan sekitar jam 12 siang, Abah membiarkan tubuhnya beristirahat sejenak,
memberikan hak bagi tubuhnya dan makan dengan apa yang dimasak istri untuknya.
Dan kewajibannya sebagai seorang hamba pun tak pernah ia lewatkan dengan
sholatnya. Sambil beristirahat, istri abah dengan wajah lembut keibuannya
menghiasi wajahnya mempersiapkan buku serta majalah yang akan dibawa suaminya
dengan kain lebar yang setia menyelimuti buku serta majalah selagi berkeliling.
Hampir di setiap hari Abah
berjalan kaki menyusuri jalanan alam yang berhias dengan segala keunikannya,
berbatu, lembah, jajaran pohon karet, hamparan perkebunan teh, rindangnya pohon
coklat menemani langkah-langkahnya. Awalnya, Abah hanya berkeliling di satu RT
saja, berlanjut hingga ke kampung-kampung dan seterusnya sampai seluruh Desa
Gunung Hejo sudah Abah kunjungi. Menyambangi dari satu rumah ke rumah lain
menjadi alunan estafet ikhtiarnya untuk menjaring apa yang ditujunya yaitu
orang bersedia untuk membaca. Hingga pada tahun 1994 Abah telah berkeliling ke
empat desa. Dan begitulah cara Tuhan bekerja yang tidak pernah tidur, pembaca
koleksi buku dan majalah Abah makin banyak dengan usahanya atas ketentuan
izin-Nya.
Pada saat meminjamkan
koleksinya, Abah tidak pernah mematok biaya sepeser pun. Tapi terkadang mereka
memberikan uang sekedarnya kepada Abah. Dirinya memiliki cinta jiwa, tujuannya
benar-benar bukanlah materi, Abah ikhlas menjadikan ini sebagai amal sebelum
nanti ia menghadap sang Rabbul Izzati. Abah kerapkali berucap, “ Jika saya
mengejar materi sebagai tujuan dari kegiatan ini, tentu saja saya akan mematok
harga sendiri. Tapi niat saya ini berdasarkan keinginan saya untuk menumbuhkan
minat baca masyarakat di tempat tinggal saya tinggal. Bagi saya ini adalah
suatu amal yang tersembunyi. Orang lain mungkin hanya melihat saya mengajak
membaca, tapi dibalik semua itu saya menjadikan ini sebagai ibadah saya”. Bagi
Abah ini adalah bukan tugas tapi ini adalah pengabdian hidupnya. Menurut Abah,
tugas adalah suatu pekerjaan yang dimana pertanggungjwabannya adalah kepada
atasan. Sedangkan, pengabdian adalah suatu perkerjaan yang dimana
pertanggungjawabannya kepada Tuhan. Biar semua Tuhan yang
menilai, karena ini adalah
perwujudan penghambaan dirinya kepada Tuhan dengan berbagi kepada masyarakat.
Setelah menempuh tantangan
serta tentangan, dalam kurun dua tahun Abah sudah memiliki langganan di 7 desa
di Kecamatan Darangdan. Ketujuh desa itu diantaranya adalah Lingga Sari, Lingga
Mukti, Sadar Karya, Sawit, Cijlang, Darangdan, dan Gunung Hejo. Setiap hari
abah berangkat dari jam 2 siang hingga selepas isya. Bahkan tak jarang, abah
tiba di rumah jam 10 malam. Pertama, Abah mengunjungi desa yang paling jauh
yakni Desa Lingga Sari dengan naik angkot. Dari desa itu Abah berjalan kaki
sekitar 12 kilometer sampai ke Desa Gunung Hejo, lalu baru bisa kembali pulang
ke rumah. Maka seringkali Abah tiba di rumah sudah larut malam.
Ketika Abah menghadapi masa
pensiun pada tahun 2006 silam, Abah mulai menfokuskan diri pada pengelolaan
perpustakaan. Dan ini memberikan porsi yang jauh lebih banyak untuk mengisi
kekosongan dengan terus berkeliling meminjamkan koleksinya. Sebelum Abah
berkeliling, kini ia selalu menyempatkan dirinya untuk berolah raga setelah
sholat shubuh dengan lari 5 kilo meter di sekitar rumahnya.
Mentari menyambutnya dengan
baik, Abah mengambil perkakasnya untuk memelihara tumbuhan toga yang
dimilikinya. Selalu bahagia dan menjalani dengan rasa syukur yang berlimpah
menjadi candu tersendiri dalam diri Abah. Walau sebenarnya uang pensiunan
beliau yang diterimanya setiap bulan, hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari.
Jika pun ada tambahan, biasanya didapat dari para peminjam koleksi buku serta
majalahnya. Sehari biasanya abah dapat 10.000-20.000, bahkan tak jarang abah
hanya mengantongi Rp 3.000 per harinya. Sungguh perjuangan abah yang tiada
terperi berhias keikhlashan hati dengan langkah penghambaan yang tinggi.
Karena minimnya jumlah
majalah, pernah dalam kurun waktu tiga bulan Abah tidak berkeliling kampung
untuk menawarkan koleksinya. Banyak pembacanya yang komplain karena majalah
yang dibawanya sebagaian besar telah usang. Sehingga, kondisi itu cukup menahan
Abah untuk tidak berkeliling karena tidak ada lagi majalah dan buku baru yang
abah dapatkan. Namun syukurlah, saat ini paling tidak setiap tiga bulan sekali
kiriman majalah datang, tapi kadang-kadang bisa sampai lebih dari tiga bulan
tidak datang. Mayoritas majalah yang datang tidak disertai dengan alamat
pengirim, padahal Abah ingin mengucapkan rasa terimakasih atas bantuan yang
telah diberikan. Dan tak jarang pula, Abah menerima telepon dari
para donatur buku untuk datang mengunjugi rumah mereka dan mengambil buku-buku
bekas mereka. Dengan senang hati, Abah akan menjemput benih-benih harapannya
tersebut. Dan disetiap pengambilan koleksi yang diberikan donatur, mempunyai
kesannya tersendiri. Kesan yang paling melekat pada ingatannya adalah ketika ia
mengambil buku-buku bekas, Abah selalu diperlakukan dengan baik bahkan bak
seorang raja. Abah bahkan tak mengira bahwa kebaikannya selama ini membawa
dampak pada dirinya seperti ini.
Sejak awal meminjamkan majalah
serta buku kepada warga banyak suka serta duka yang dialaminya. Namun Abah
menjalaninya dengan perasaan senang, dan duka tidak pernah ia larutkan dalam
formulasi kehidupannya. Misalnya ada yang meminjam majalah, kemudian mengembalikannya
dalam keadaan sudah sobek atau digunting bahkan hilang. Tapi Abah tidak pernah
menuntut mereka untuk mengganti rugi atau hingga memarahi mereka. Karena Abah
khawatir mereka tidak ingin membaca kembali dan kapok untuk meminjam majalah.
Abah sadar betul jika para pembacanya tersebut adalah raja, dan raja harus
dilayani dengan sebaik-baiknya.
Dukungan tak hanya datang dari
anak-anak Abah. Pendamping hidup, teman saat mengucap janji di hadapan Tuhan,
istrinya, tak pernah lelah mendampingi serta memberikan motivasi kepada Abah.
Mulai dari menyiapkan majalah untuk dibawa, hingga dukungan moril ketika abah
hampir putus asa. Terutama ketika awal-awal abah menawarkan majalah kepada
warga, ada banyak cemoohan dan ejekan datang dari masyarakat sekitar.
Abah masih ingat dengan
kejadian yang sangat menyakitkan baginya. Berawal dari kisah seseorang yang
kerapkali memperkosa anak-anak di lingkungan Abah tinggal. Sonar gosip di
daerah perkampungan gang padat tentunya lebih kencang, dan itu membuat Abah
terkena imbas dari perbuatan orang tersebut. Anak-anak dilarang oleh orang tua
mereka masing-masing karena ditakut-takuti bahwa Abah adalah seorang pedhopil.
Abah mengetahui hal tersebut dari istrinya, namun mereka berdua hidup saling
bersinergi, saling menenangkan. Dengan kondisi kekahawatiran seorang istri pada
suaminya, Abah berkata pada ibu dengan tenangnya “Allah Maha Tahu bu... tahu
apa yang ada di hati setiap manusia. Abah melakukan seperti ini karena Allah.
Biarkan saja mereka berkata seperti itu, yang terpenting adalah kita tidak
berbuat demikian”, rasa meyakinkan Abah pada istrinya tercinta memberikan
kekuatan tersendiri bagi ibu untuk terus setia di setiap langkah perjuangannya.
Bagi istrinya, Heni Saeni, Abah hampir tidak pernah mendapati suaminya mengeluh. Dan ibu pun
sudah terbiasa dengan kegiatan suaminya yang telah digeluti sejak 1986 itu.
Cibiran, cemoohan dan
ucapan-ucapan sinis seringkali diterimanya. Namun, ia tidak pernah menyerah,
justru hal itulah yang memotivasi Abah untuk menumbuhkan minat baca masyarakat
dan membuktikan bahwa ini semua akan berbuah hasil yang manis. Abah sendiri
bingung, mengapa ia bisa sekuat ini menghadapi segala tentangan serta tantangan
dalam menjalani ini semua, namun Abah memaknainya sebagai inilah perjuangan
bukti pengabdiannya pada Tuhan semata.
Kegigihannya dalam menyebarkan
semangat membaca baru tercium oleh media pada tahun 1994 oleh majalah Mangle,
puncaknya pada tahun 2007 Abah sering diwawancarai para pemburu berita, hingga
wartawan gadungan pun kerapkali mewawancarainya dan memintainya uang. Dari
pemberitaannya di media massa, memberi berkah tersendiri bagi kehidupan abah
selain mendapatkan donasi koleksi, Abah juga telah mendapatkan beberapa
penghargaan dari IKAPI, pemerintah Purwakarta, dan Perpustakaan Nasional pada
tahun 2009. Penghargaan pertamanya adalah penghargaan dari IKAPI sebagai
penggiat perpustakaan tradisional.
Penghargaan yang didapatnnya
pada bulan Februari 2009 tersebut memiliki kesan tersendiri dalam perjalan
hidup Abah. Saat itu hujan deras mengguyur kota Purwakarta, Abah tahu bahwa ia
harus menerima penghargaan tersebut yang berlokasi di Bandung. Dengan sebuah
keyakinan penuh, Abah bergegas untuk menuju Bandung ke lokasi tempat penerimaan
penghargaan. Acara penerimaan penghargaan berlangsung pukul 08.00 WIB dan Abah
didampingi oleh 4 orang karyawan Pemerintahan Daerah yang mereka meminta Abah
untuk ke kota Purwakarta agar mereka bisa menggunakan akses jalan tol menuju
Bandung. Abah yang lugu ini menurut saja apa kata mereka. Cuaca yang kurang
bersahabat pun diterjang oleh Abah. Saat matahari belum beranjak bersinar, Abah
sudah harus berangkat ke kota Purwakarta. Ditemani hujan deras dan berkendaraan
ojeg, Abah menutup kepalanya dengan kantong kresek agar tidak basah. Saat itu
pun abah belum sempat sarapan karena Abah sangat menghargai tawaran orang-orang
Pemda untuk mendampinginya dalam perhelatan penerimaan penghargaan tersebut.
Sesampainya di sana, Abah tiba
dengan kondisi basah kuyup, namun entahlah apa yang ada di pikiran para orang
Pemda yang mengantarnya, mereka sama sekali tidak peduli dengan apa yang terjadi
pada Abah. Abah tetap tenang walau dirasa tubuhnya makin kurang bersahabat
selama perjalanan menuju Bandung. Singkat cerita, penghargaan telah diterimanya.
Dengan sifatnya yang santun Abah berpamitan kepada penyelenggara acara tersebut
dan berharap penghargaan tersebut memberikan kontribusi positif bagi
perpustakaan yang telah diperjuangkannya selama ini.
Pada tahun 2009, Abah
berkesempatan untuk bisa umroh atas biaya dari Bupati Purwakarta. Itu pun jika
diceritakan oleh Abah, seringkali masih tidak percaya. Berawal dari telpon dari
kantor Pemda yang meminta Abah untuk datang ke kantor. Abah khawatir dengan apa
yang akan terjadi karena sifatnya yang mendadak. Namun, ibu dengan sigapnya
menenangkan Abah, dipersiapkannya segala keperluan Abah untuk mengahadap Bapak
Bupati. Sesampainya di kantor bupati, dengan kepolosannya Abah bertanya perihal
apa yang membuat Abah bisa diundang menghadap Bupati tersebut. Sang Bupati
tersenyum dan dengan kuasanya dia bercerita bahwa terdapat sisa satu tiket
untuk bisa umroh dan Bupati terpikir Abah lah orang yang tepat mendapatkannya.
Rasa takjub menyelimuti hati Abah, karena Abah tidak pernah mengira ini semua.
Bupati pun meminta Abah untuk segera menyelesaikan hal-hal administratif
seperti paspor dan yang lainnya di Bandung selama 3 hari.
Selama perjalan pulang dari
kantor bupati, Abah seperti mengawang dengan apa yang barusan saja terjadi dan
segera menceritakannya pada istri tercintanya. Dengan bantuan anak-anaknya,
urusan administratif telah diselesaikannya. Abah mengadakan pengajian
kecil-kecilan dengan para tetangganya sebagai wujud memohon doa restu dan salah
satu tetangganya memberikan selembaran uang 50.000 untuk bekal disana katanya.
Sambil mengerutkan keningnya Abah mengucapkan banyak terimakasih kepada
tetangganya tersebut
.
Keesokan hari saat Abah akan
berangkat, wajah cemas menyeruak istrinya dengan bertanya pada Abah, “Pak,
gimana ini.. kita kan gak punya uang buat bekal di sana..” dengan santai dan
mantap Abah menenangkan hati istrinya, “Tenang mah.. bapak kesana untuk ibadah,
bukan untuk belanja. Jadi mamah gak usah khawatir.. ada Allah yang mengongkosi
perjalanan Bapak..”. Sejuk terasa apa yang dikatakan Abah pada istrinya, dan
itu memberikan kepercayaan tersendiri bagi ibu untuk bisa merelakan ayah,
suami, serta guru kehidupannya tersebut untuk menjalankan haji kecil dengan
hanya berbekal uang Rp. 50.000 dari
tetangganya.
Abah berangkat bersama
rombongan dari berbagai profesi seperti atlet, para pejabat pemerintahan, dan
orang-orang yang dinilai berjasa bagi kota Purwakarta termasuk Abah. Ini
pertama kalinya abang naik pesawat, Abah jadi teringat semasa kecil ketika
melihat pesawat akan berteriak, “kapaaal,...kapaaaal… menta duit euy..!”
sambil mengejar pesawat bersama teman-temannya, dan kini ia ada dalamnya.
Pesawat transit di Madinah,
Abah bergegas untuk melaksanakan sholat Ashar. Sisi mushola dengan tempat wudhu
saling bersebrangan dan itu cukup jauh. Saat akan mengambil air wudhu, Abah
menemukan empat orang wanita yang duduk tak beraturan di lantai mereka saling
menuduh yang Abah sendiri tak tahu apa maksud mereka masing-masing, terlihat
oleh abah raut mereka yang marah dan menangis. Dan hal yang paling mengejutkan
bagi Abah adalah mereka berbicara dalam bahasa Sunda. Tapi Abah segera
teralihkan, ia harus segera menunaikan sholat ashar-nya. Seselesai sholat, Abah
menuju ke tempat di mana tadi ia menemukan sekelompok wanita tadi. Rasa
penasarannya membuat ia bertanya ada apa yang sebenarnya terjadi. Lalu salah
satu wanita bercerita, bahwa mereka telah tertipu oleh seorang joki penukar
uang dan sekarang mereka tidak memiliki uang sama sekali. Abah terenyuh
hatinya, iba mendengar hal tersebut Abah memberikan uang sakunya yang Rp 50.000
tersebut yang telah ditukarnya menjadi 4 real. Dibagikannya kepada empat orang
wanita tersebut, masing-masing 5 real. Dan sekarang abah sama sekali tidak
memiliki bekal sepesrrpun. Abah tidak pernah merasa berat dalam berbagi, karena
bagi Abah filosofi hidupnya adalah hidup bagaikan semut yang selalu berbagi,
dengan begitu tidak ada manusia yang egois.
Di Mekkah, Abah melaksanakan
ibadah dengan khusyuk penuh dengan rasa penghambaan yang menakjubkan di mana
Abah seringkali mendapatkan berbagai kemudahan dalam mejalankan ibadah seperti
saat mencium hajar aswad, berziarah di makam Nabi Ibrahim, dll. Abah sangat
menikmati, mensyukuri atas undangan-Nya sehingga Abah bisa melihat sendiri
betapa menggetarkannya ka’bah di hadapannya yang selama ini menjadi kiblat
sholatnya. Dan tak terasa sudah saatnya harus pulang, rasa sedih haru bercampur
tak rela dengan kerinduan yang rasanya tak mau dipisahkan ketika harus
meninggalkan tanah suci. Abah tahu, Abah harus ikhlas, pada saatnya nanti jika
Allah berkehendak, ia pasti akan kembali ke Rumah Allah tersebut.
Tak terasa apa yang telah
diperjuangkan Abah mendatangkan penghargaan-penghargaan yang memberikan makna
tersendiri bagi hidup Abah. Di antaranya adalah penghargaan Layang Pangajen
Bupati Purwakarta tahun 2009, Nugra Jasadarma Pustaloka tahun 2009, dan
penghargaan lainnya. Abah telah menuai apa yang telah ia tabur selama ini.
Perjuangan yang tidak mudah menghadapi cercaan cemoohan orang-orang dalam
melakoni perannya.
Makna penghargaan bagi Abah
adalah motivasi untuk terus berprestasi. Dengan apa yang telah abah lakukan ini
Abah telah bisa umroh, apalagi jika melakukan lebih dari ini, mungkin Abah akan
mendapatkan yang lebih baik. Kini, banyak kasus seseorang yang mengejar sebuah
penghargaan agar bisa menaikan prestise pribadi. Tapi bagi Abah pribadi
penghargaan itu diberikan oleh orang lain. Bukan kita yang mengajukan karena
jika itu terjadi, maka kita berharap bayaran dari jasa kita.”
0 Response to "John Wood From Gunung Hejo Purwakarta"
Post a Comment