John Wood From Gunung Hejo Purwakarta | Kembara Madani Eduka

John Wood From Gunung Hejo Purwakarta

John Wood
Visi hidupnya seketika berubah setelah mendaki gunung Himalaya yang berlokasi di Nepal. Dia tinggalkan kehidupan mapan kelas atas di Amerika. Jabatan mentereng di perusahaan terkenal Microsoft dengan gaji yang besar dtinggalkannya. Bahkan dia rela ditinggalkan calon istrinya yang cantik, karena sang calon istri tidak mau memiliki suami yang tidak jelas masa depannya. Semua kemapanan dan kenyemanan hidup dia tinggalkan hanya untuk membangun perpustakaan sekolah di negara-negara miskin seperti Nepal. Tapi, itulah John Wood sebagaimana dituturkan dalam karyanya Room to Read. Tidak kurang dari 7000 perpustakaan didirikannya untuk membantu pendidikan di negara-negara miskin. 

Memang terkadang aneh membaca kisah manusia yang disebut pahlawan atau orang besar seperti John Wood. Itu semua terjadi karena setiap manusia memiliki nilai yang berbeda yang membuat dirinya unik dari yang lain. Seperti sebuah kisah dalam buku Sang Pralambang karya Kahlil Gibran (Jakarta: Pustaka Jaya, 1989) berikut: 

“Suatu hari seseorang yang menggali di ladang menemukan patung pualam yang amat indah. Dibawanya patung itu pada seorang pengumpul dan pencinta barang kesenian. Patung itu dijualnya, dan ia menerima uang banyak sekali. Sambil berjalan pulang membawa uang itu ia berpikir dan berkata dalam hati, ‘Alangkah besarnya manfaat uang ini bagi hidup! Mengapa ada orang yang mau memberikan uang sebanyak ini hanya untuk sebuah batu pahatan yang sudah terpendam seribu tahun?”. 

Saat itu si pengumpul barang kesenian tengah mengamati patungnya. Ia berpikir dan berkata dalam hati, ‘Alangkah indahnya! Menakjubkan. Impian jiwa, dan tetap segar bersama peluh tidur seribu tahun. Mengapa ada orang yang mau memberikannya hanya untuk uang, yang hambar dan lesi?’. 

Jauh dari Amerika, negaranya John Wood, tepatnya di Desa Gunung Hejo Kabupaten Purwakarta Jawa Barat terdapat seseorang yang memiliki semangat yang sama dengan John Wood dalam membangun perpustakaan. Semangatnya sama. Pengabdiannya sama. Tetapi buah karyanya memang berbeda. Karya seseorang sesuai dengan kapasitas dirinya. Besar kacilnya karya seseorang sesuai dengan bingkai pikirannya. Dia hanyalah seorang tua yang sederhana baik ekonomi maupun pendidikannya, akan tetapi memiliki segudang prestasi dalam rangka “ikut serta dalam mencerdaskan kehidupan bangsa” sebagaimana tertuang dalam Mukadimah UUD 1945, namanya Djuju Djunaedi yang biasa disapa dengan Abah Udju. 

Untuk mengenal lebih jauh profil pahlawan literasi ini, berikut cerita yang dibuat oleh Euis Siti Maemunah, aktivis Masyarakat Literasi Indonesia (MLI), yang selama sebulan lebih hidup bersama keluarga Abah demi mendalami kepribadiannya: 

“Mata kedua orang yang berbadan tegap itu menatap tajam pada buntelan yang digendong dibahu Abah Udju. Dengan ucapan yang kasar mereka memaksa Abah Udju untuk berhenti dan menyerahkan gendongannya. Tanpa perlawanan, Abah yang sudah berumur setengah baya ini, menyerahkannya pada mereka. Tanpa basi-basi lagi kedua orang tersebut membongkar paksa buntelan yang di bawa Abah. Mereka mengaduk-aduknya mencari barang yang berharga, akan tetapi tidak menemukannya. Mereka hanya menemukan tumpukan-tumpukan yang tidak berarti bagi mereka, yaitu buku. Karena kesal tidak mendapatkan hasil yang dinginkan, maka kedua orang tersebut mengobrak-abik buku sehinga berserakan di tanah. Abah hanya bisa terdiam dan berkaca-kaca. Kemudian kedua orang itu pun berbalik ke arah Abah. Dengan penuh ancaman mereka menyuruh abah untuk menyerahkan semua isi sakunya. Uang yang hanya tiga ribu rupiah itu pun, hasil dari uang sewa buku yang diberikan secara sukarela, diserahkan Abah. Mereka lantas pergi dengan bersungut-sungut. Dengan berlinangan air mata Abah memunguti buku-buku yang berserakan ditanah dan membungkusnya kembali. Dengan hati yang sedih dia pun pulang ke rumah. 

Itulah sepenggal peristiwa nyata yang pernah dialami Abah dalam melakoni hidupnya sebagai pemilik dan sekaligus pengelola Perpustakaan Saba Desa yang berlokasi di Kampung Ngenol RT 10/03 Desa Gunung Hejo Kecamatan Darangdan Kabupaten Purwakarta. Sebuah desa yang dimana menjadi tempat keberadaan kediaman Abah Udju. 

Hawa sejuk dengan rimbunnya pepohonan menjadikan rumah beliau memiliki sensasi tersendiri. Berada di sekitar perkebunan PTPN yang kini sedang dalam masa pensterilan sebelum kembali ditanami, Abah Udju menyiasatinya dengan bercocok tanam segala macam tanaman baik sayuran, maupun buah-buahan. 

Kondisi sosial di lingkungan Abah Udju masih sangat kondusif, semangat gotong royong masih terasa. Terlebih ketika ada momen pengajian, para ibu berbondong-bondong dari lembah bukit menuju hulu untuk menjalankan ibadah mulia tersebut. 

Mengingat dominasi daerah tersebut dimiliki oleh PTPN VIII, itu juga menjadikan mayoritas penduduk berprofesikan sebagai pekerja di PTPN. Namun, tidak halnya bagi penduduk wanita, kebanyakan dari mereka mencari peruntungan dengan menjadi TKW, banyak sekali baik gadis, maupun wanita yang sudah lanjut usia mengadu nasib di negeri orang. Jadi tidak aneh banyak anak yang belum sempat meilhat ibunya semenjak dia lahir karena pasca melahirkan ibunya harus segera pergi untuk bekerja sebagai TKW. 

Djuju Djunaedi dilahirkan di Bandung pada tanggal 17 Maret 1949. Anak kedua dari sepuluh bersaudara ini hanya berhasil mengecap pendidikan Sekolah Rakyat (sekarang Sekolah Dasar) Cidadap. Dan melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama, namun sayang tidak dilanjutkannya karena sesuatu. Semenjak kecil Abah sudah tinggal di Sukabumi, yang dia sendiri tidak mengingat sejak kapan dia mulai tinggal di Sukabumi, disana Abah tumbuh bersama saudara-saudaranya. Namun yang ada dalam benaknya adalah spekulasi tentang kenapa harus dia yang di Sukabumi sedangkan saudara-saudara lainnya tinggal di Bandung. Rupanya Tuhan mendengar keluhan Abah, maka Abah kecil yang saat itu berusia 7 tahun dibawa ke Bandung untuk tinggal bersama ibunya. Sewaktu kecil, Abah senang membaca, ia gemar membaca majalah Mangle yang menjadi majalah langganan keluarganya. Maka tak heran kini abah begitu loyal terhadap majalah berbahasa Sunda tersebut dengan rajin mengirimkan hasil tulisannya. 

Bagi Abah, masa kecil adalah masa dimana ia belajar banyak hal seperti melukiskan pelangi yang dengan mudahnya ia dapat merasakan keindahannya. Saat sekolah dasar, ia adalah seorang anak yang biasa-biasa saja namun selalu merasa terinspirasi pada apa yang dikatakan oleh gurunya yang bernama ibu Tuti Setiawati. Ya, beliau adalah istri dari mantan wakil presiden kita yang keenam, Tri Sutrisno. Abah kecil menyaksikan romansa sepasang kekasih yang begitu ideal. Dimatanya pak Sutrisno adalah sosok lelaki ideal dan sangat cocok menjadi pasangan gurunya tersebut. Hal yang paling diingat dari gurunya tersebut adalah beliau pernah berpesan pada murid-muridnya. Dengan sikap sempurna murid nan hormat mereka termasuk abah kecil bersiap untuk mendengar wejangan gurunya yang cantik, “Anak-anak, hirup teh ngariung babarengan. Sing balener, jujur, hormat ka ibu bapak. Sing rajin da kuda lari dapat diburu, nasib diri siapa yang tahu..” (anak-anak, hidup itu bergandengan. Berlakulah benar, jujur, hormat pada ibu bapak. Belajarlah yang rajin karena kuda lari dapat diburu, nasib diri siapa yang tahu). Kata-kata tersebut sepertinya terpatri dalam benak Abah, karena bagaimana tidak abah menjalankan kehidupannya dengan penuh rasa, peka terhadap lingkungan, serta jujur. Mengingat Ibu Tuti kembali membuat dirinya terkekeh akan kejahilannya di masa lalu. 

Menjadi ketetapan dan kodratnya waktu ialah berjalan terus, masa sekolah dasar telah ia lalui dengan penuh riang hati. Memasuki usia Sekolah Menengah Pertama, ia pun mulai menghadapi masalah-masalah kehidupan yang sering membuatnya bertanya. Entah mengapa, selama bersama ibunya ia belum menemukan kenyamanan, perasaan diskriminasi dengan saudara-saudara kandungnya kerapkali hinggap di benaknya. Perasaan takut sepertinya yang mendominasi akan penggambarannya tentang ibu. Tidak hanya sekali dua kali Abah menjual seragam barunya untuk dijual dan dibayarkan ke tagihan sekolah karena rasa takutnya hingga tidak mempunyai keberanian untuk meminta uang pada ibunya. Kegalauannya makin memuncak saat Abah menginjak remaja berusia 13 tahun, daripada hidup terkekang bersama ibunya ia lebih baik pergi. Akhirnya Abah memutuskan untuk kabur dan tidak bersekolah kembali. Abah memantapkan dirinya kabur ke Sukabumi dari Bandung dengan menggunakan sepeda. Susah payah mengayuh sepeda tidak terasakan, rasa kesal dan emosi yang membuncah sepertinya yang menjadi bahan bakar semangatnya untuk sampai di tujuan. Selama perjalanan, untuk menghemat energi sesekali Abah berpegangan pada bagian ujung truk saat perjalanan menanjak. 

Dengan hati gamang dan tak ada tujuan akhirnya Abah tiba di Sukabumi. Dalam benaknya terpikir untuk bekerja serabutan mengisi waktu-waktu kosong sambil menunggu nasib baik datang padanya. Pekrjaan yang paling lama dilakoni adalah bekerja membantu nelayan. Hingga suatu saat ketika sedang melaut, kapal yang ditumpanginya mengalami kebocoran. Tak ada pilihan lain, mau tak mau awak kapal termasuk Abah harus terjun ke lautan luas yang tak pasti. Awak satu dengan awak lainnya saling bermaafan, karena mereka sadar bahwa tidak ada jaminan bahwa mereka akan selamat. Hanya harapanlah yang menjadi tumpuan mereka. Abah akhirnya terapung-apung di lautan luas dengan hanya bermodalkan jerigen agar tidak tenggelam. 

Panas terik sinar matahari yang membakar kepala dan aroma air laut yang memenuhi hidungnya membuat Abah terserang halusinasi. Abah merasa hidupnya sebentar lagi akan selesai. Akan tetapi Tuhan memiliki rencana lain. Tiba-tiba Abah merasakan ada sesuatu yang aneh mengenai badannya dan jerigen yang dipegangnya tersebut terasa ada yang mendorong. Ya, ternyata memang ada yang mendorongnya menuju tepian laut. Sungguh seperti dalam mimpi ternyata Abah didorong oleh kawanan lumba-lumba untuk mencapai tepian pantai. Harapan untuk hidup timbul kembali. Akan tetapi laut sepertinya ingin bermain-main sejenak dengan nasib Abah. Tiba-tiba gelombang yang besar menghantamnya dan mengembalikan Abah ke tengah lautan. Hatinya pasrah, berserah pada Tuhan. “Hanya ada Tuhan dan saya” kata Abah kala itu. Akhirnya Abah tak sadarkan diri, ketika siuman dan membuka mata ternyata dirinya telah berada dalam perahu seorang nelayan bernama mbah Minta. Mengetahui Abah telah sadar, mbah Minta segera menyuruhnya untuk minum dan setelah merasa agak sehat Abah diminta menceritakan apa yang terjadi. Setelah sampai di tepian pantai Abah disuruh masuk ke sebuah gubuk untuk beristirahat, sedangkan mbah Minta menuntaskan aktivitas nelayannya di hari itu. 

Setelah beberapa saat bermukim di kediaman mbah Minta akhirnya Abah memutuskan untuk kembali ke Bandung. Karena selama 12 tahun tidak pernah bersua dengan keluarga terutama ibunya. Ia tak peduli lagi akan seperti apa jadinya ketika dia tiba di Bandung. Ia siap dengan kondisi terburuk sekali pun. Keinginan itu akhirnya mendorong Abah untuk berpamitan kepada mbah Minta. Sungguh baik hati keluarga mbah Minta, walau hidup dengan segala keterbatasan, tetapi sudah menjadi fitrah manusia rasa ingin memberi itu selalu ada. Mbah Minta sekeluarga memberikan uang saku dengan beberapa camilan untuk keluarga Abah di Bandung. 

Panas terik menemani perjalanan Abah ke Bandung, bayang-bayang sosok ibunya juga sangat bersahabat sekali dengan jiwanya kali itu. Dan ketika Tuhan dengan kuasa-Nya mengizinkan mempertemukan anak dengan ibunya, itu adalah saat-saat yang mengharukan. Bagaimana tidak, 12 tahun tidak bertemu dengan anaknya. Segala prasangka hinggap di pikiran sang ibu akan nasib anaknya. Namun kini, ia bisa bertemu dengan anaknya tepat ketika abah berusia 25 tahun. Sujudnya seorang anak kepada ibu sebagai tanda permintaan maaf, air mata menjadi wujud harapan akan diterimanya permohonan maaf sang anak. Ibu dengan rasa kasih sayangnya yang tiada tara, hati seorang wanita yang selalu menyelipkan kata maaf terhadap kesalahan yang diperbuat anaknya. 

Perjumpaan dengan ibunya kembali juga memberikan jawaban mengapa ibunya seringkali membedakannya dengan saudara kandungnya yang lain yaitu karena warisan. Jadi, selama ini Abah baru mengetahui jika ayah purnawirawan yang ia miliki bukanlah ayah kandungnya, ayah kandungnya yang berasal dari Sukabumi telah meninggal. Sepeninggal ayahnya, saat pembagian warisan, keluarga dari Abah tidak mendapatkan warisan sediktpun dan itu membuat sang istri, ibu dari Abah perih karena tidak mendapatkan apa yang seharusnya menjadi hak anak-anaknya. Ibu tiada berdaya untuk marah pada pihak keluarga almarhum suaminya, yang bisa ia lakukan kini adalah melampiaskan segala kemarahan, kebenciannya pada abah. Hati teflon itulah yang mungkin dimiliki Abah. Abah tidak ambil pusing akan hal tersebut karena baginya itu sudah terjadi dan berlalu, yang ia cari kini adalah memperbaiki hidupnya menjadi lebih baik. 

Akhirnyua Abah memulai hidup baru dengan bekerja di PTPN VIII sebagai operator di bagian pengolahan karet. Sampai dia bertemu dengan seorang gadis belia cantik jelita bernama Heni Saeni yang kini menjadi istrinya. Waktu berjalan secara dinamis pada kehidupan Abah, selama dalam masa kerjanya pun Tuhan terus menempa dirinya. Disaat keluarganya dikaruniai anak pertama, Edi Rohman, yang mungkin menjadi fase awal dari kehidupan pergulatan dunia pustaka dimulai. 

Cahaya lembut menerangi dunia, dan lembutnya pun membias pada kasih sayang abah pada Edi. Suatu ketika Abah mengajak Edi kecil nonton sirkus di Purwakarta. Saat perjalanan pulang Edi melihat sesuatu yang baru, benda tersebut panjang terbelah-belah berjalan beriringan dan melaju dengan cepat. Itu sangat menarik perhatian Edi, ia bertanya pada Abah, “Bapak, itu mobil apa?”, dengan suara penuh kelembutan seorang ayah, abah menjawabnya dengan tenang “itu kereta api nak..”. Semenjak pertemuan Edi dengan kereta itu lah Edi terus bertanya. 

Setiap pagi Edi meminta digambarkan kereta api. Hal ini membuat Abah pernah terlambat masuk kerja dan mengakibatkan dimutasi. Dari kejadian itu, Abah berpikir bagaimana caranya agar tidak terlambat ke tempat bekerjanya tapi kerasaingintahuan Edi akan otomotif tersebut bisa tetap terpenuhi. Akhirnya Abah membeli majalah untuk anaknya di saat ia pulang bekerja, dan kebiasaan ini terus berlanjut hingga majalah bertumpuk di lantai.

Sembari Abah bekerja, istrinya pun ikut berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat yang notabenenya mereka memiliki kesamaan sebagai pekerja di PTPN VIII. Istri Abah sering mengajar ngaji karyawati perkebunan. Para karyawati tersebut seringkali datang mengaji dengan membawa anak-anak mereka. Sementara ibu mereka mengaji, anak-anak duduk manis sambil mereka mengamati banyak majlah di dalam rumah Abah. Sampai suatu hari salah seorang murid mengaji ibu minta izin untuk menyewa salah satu majalah tersebut yang membuat hati anaknya senang ketika membaca majalah tersebut. Abah menolak, Abah beranggapan bahwa majalah tersebut bukan untuk disewakan, tapi jika memang ingin meminjamnya Abah persilahkan. Dan itu membuat hati Abah senang tiada terperi karena tumpukan majalah yang telah dibacanya berguna bagi orang lain. Dan saat itu Abah berpikir, daripada majalah-majalah tersebut ditumpuk terus-menerus akan lebih bermanfaat jika itu dibaca juga oleh orang lain. Akhirnya hampir di setiap kegiatan pengajian berlangsung, majalah-majalah lama selalu saja ada yang membaca dan membawanya pulang. 

Pada tahun 1988, Abah sudah mulai meminjamkan buku kepada para rekan kerjanya yang mengaji Al-Quran di rumahnya. Semua itu berjalan hingga 2 tahun, yakni dari tahun 1988 hingga tahun 1990. Pada masa itu, Abah hanya meminjamkan buku di rumah saja. Tidak menawarkan kepada siapapun, jika ada yang ingin membacanya atau meminjam mereka sendiri yang datang ke rumah. Hingga pada suatu hari, sekitar 11 orang mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) bermukim sementara di rumah abah. Keberadaan mereka memberikan kontribusi tersendiri bagi perpustakaan yang kini dimilikinya. Mereka tertarik dengan kegiatan Abah dalam meminjamkan koleksi buku-buku abah. Dari mereka pula Abah menerima banyak saran tentang pengelolaan perpustakaan. Abah menyetujui saran mereka, bahkan para mahasiswa ini pun bersedia menyumbangkan majalah dan buku. Dari beberapa majalah yang mereka sumbangkan, Abah membacanya terlebih dahulu agar mengetahui mana buku yang memberikan banyak informasi yang tepat dan mana yang tidak. Karena Abah tidak ingin para pembaca koleksinya membaca hal-hal yang tidak bermanfaat. 

Tahun demi tahun, koleksi yang dimiliki Abah menipis. Dengan kata lain, buku serta majalah yang dimilikinya hampir semua telah dibagikan untuk dibaca bagi pembaca setianya. Hingga pada suatu hari dari salah satu majalah yang dibacanya, Abah melihat sebuah tulisan di bagian surat pembaca dari mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) yang membutuhkan buku mengenai budaya Jawa. Tak berapa lama, Abah pun membaca kembali surat ucapan terimakasih dari mahasiswa tersebut karena buku yang ia cari sudah ia dapatkan dari salah seorang pembaca surat kabar tersebut. Dan itu sangat menginspirasi Abah untuk mengikuti caranya dalam menggalang buku dan majalah bekas. Lalu kemudian Abah mengirimkan beberapa surat permohonan bantuan melalui rubrik surat pembaca ke majalah-majalah, dimana surat tersebut berisikan tentang permohonan bantuan berupa majalah atau buku bekas untuk perpustakaannya. Tuhan kembali mendengar permohonan Abah dengan cara menggerakan hati para pembaca rubrik surat pembaca tersebut menyumbangkan buku-buku bekas dan majalah-majalah 10 hari kemudian. 

Karena Abah melihat antusiasme membaca pada anak-anak ibu pengajian begitu tinggi, timbullah keinginan Abah untuk menumbuhkan hal yang sama pada warga di lingkungan rumahnya. Minat baca masyarakat di daerah rumah abah masih tergolong rendah, karena menurut mereka membaca itu hanya perkerjaan orang berpendidikan tinggi. Selain itu mereka menganggap bahwa membaca hanya pekerjaan orang-orang kaya, orang perlente. Tapi Abah tidak pernah mengijinkan orang lain merenggut keinginannya untuk membuat orang-orang di sekitarnya gemar membaca. 

Dengan langkahnya yang tiada gontai sambil membawa buku-buku yang terbungkus kain yang dikaitkan pada pundaknya. Abah yakin benar, dengan membaca seseorang dapat mengetahui informasi di luar sana yang tidak terjangkau oleh kita, dengan membaca seseorang dapat membuka jendela dunia. Bersimbah peluh, perjalanannya selama dua minggu Abah berkeliling tidak ada yang tertarik membaca majalah dan buku yang dibawanya. Ikhtiar dan tawakal, seperti itulah Abah menjalani perjuangannya yang penuh dengan tekad dengan niatan tulus akan kebaikannya, harapan semoga saja ada yang berminat untuk membaca meskipun hanya satu orang terus membuntutinya. 

Hingga suatu hari ada seorang pelajar SMEA yang memanggil Abah. Dia berkata bahwa dia dan teman-temanya mendapat tugas di sekolahnya untuk mengumpulkan kiping mengenai bencana alam. Dan Abah dengan senang hati menawarkan majalah yang dibawanya. Pelajar ini terkejut dan bergembira mendengar tawaran dari Abah tersebut karena menemukan kliping yang dicarinya pada majalah-majalah yang Abah bawa. Ketika Abah datang kembali ke rumahnya untuk mengambil majalah itu, dia meminta maaf sambil terlihat di matanya menahan air mata dari rasa bersalahnya karena majalah yang dipinjamnya digunting untuk keperluan tugas sekolah. sebagai gantinya ia menawarkan ganti rugi berupa uang. Namun Abah menolaknya dan Abah hanya memintanya untuk membawa teman-temannya untuk ikut membaca. Perasaan lega yang membungkus hati gadis itu kini, dan ia pun dengan mantap mengiyakan permintaan Abah tersebut. Akhirnya dia mengajak teman-teman, tetangga, bahkan keluarga besarnya untuk membaca majalah-majalah yang dibawanya. 

Setiap pulang bekerja, di perkebunan sekitar jam 12 siang, Abah membiarkan tubuhnya beristirahat sejenak, memberikan hak bagi tubuhnya dan makan dengan apa yang dimasak istri untuknya. Dan kewajibannya sebagai seorang hamba pun tak pernah ia lewatkan dengan sholatnya. Sambil beristirahat, istri abah dengan wajah lembut keibuannya menghiasi wajahnya mempersiapkan buku serta majalah yang akan dibawa suaminya dengan kain lebar yang setia menyelimuti buku serta majalah selagi berkeliling. 

Hampir di setiap hari Abah berjalan kaki menyusuri jalanan alam yang berhias dengan segala keunikannya, berbatu, lembah, jajaran pohon karet, hamparan perkebunan teh, rindangnya pohon coklat menemani langkah-langkahnya. Awalnya, Abah hanya berkeliling di satu RT saja, berlanjut hingga ke kampung-kampung dan seterusnya sampai seluruh Desa Gunung Hejo sudah Abah kunjungi. Menyambangi dari satu rumah ke rumah lain menjadi alunan estafet ikhtiarnya untuk menjaring apa yang ditujunya yaitu orang bersedia untuk membaca. Hingga pada tahun 1994 Abah telah berkeliling ke empat desa. Dan begitulah cara Tuhan bekerja yang tidak pernah tidur, pembaca koleksi buku dan majalah Abah makin banyak dengan usahanya atas ketentuan izin-Nya. 

Pada saat meminjamkan koleksinya, Abah tidak pernah mematok biaya sepeser pun. Tapi terkadang mereka memberikan uang sekedarnya kepada Abah. Dirinya memiliki cinta jiwa, tujuannya benar-benar bukanlah materi, Abah ikhlas menjadikan ini sebagai amal sebelum nanti ia menghadap sang Rabbul Izzati. Abah kerapkali berucap, “ Jika saya mengejar materi sebagai tujuan dari kegiatan ini, tentu saja saya akan mematok harga sendiri. Tapi niat saya ini berdasarkan keinginan saya untuk menumbuhkan minat baca masyarakat di tempat tinggal saya tinggal. Bagi saya ini adalah suatu amal yang tersembunyi. Orang lain mungkin hanya melihat saya mengajak membaca, tapi dibalik semua itu saya menjadikan ini sebagai ibadah saya”. Bagi Abah ini adalah bukan tugas tapi ini adalah pengabdian hidupnya. Menurut Abah, tugas adalah suatu pekerjaan yang dimana pertanggungjwabannya adalah kepada atasan. Sedangkan, pengabdian adalah suatu perkerjaan yang dimana pertanggungjawabannya kepada Tuhan. Biar semua Tuhan yang
menilai, karena ini adalah perwujudan penghambaan dirinya kepada Tuhan dengan berbagi kepada masyarakat. 

Setelah menempuh tantangan serta tentangan, dalam kurun dua tahun Abah sudah memiliki langganan di 7 desa di Kecamatan Darangdan. Ketujuh desa itu diantaranya adalah Lingga Sari, Lingga Mukti, Sadar Karya, Sawit, Cijlang, Darangdan, dan Gunung Hejo. Setiap hari abah berangkat dari jam 2 siang hingga selepas isya. Bahkan tak jarang, abah tiba di rumah jam 10 malam. Pertama, Abah mengunjungi desa yang paling jauh yakni Desa Lingga Sari dengan naik angkot. Dari desa itu Abah berjalan kaki sekitar 12 kilometer sampai ke Desa Gunung Hejo, lalu baru bisa kembali pulang ke rumah. Maka seringkali Abah tiba di rumah sudah larut malam. 

Ketika Abah menghadapi masa pensiun pada tahun 2006 silam, Abah mulai menfokuskan diri pada pengelolaan perpustakaan. Dan ini memberikan porsi yang jauh lebih banyak untuk mengisi kekosongan dengan terus berkeliling meminjamkan koleksinya. Sebelum Abah berkeliling, kini ia selalu menyempatkan dirinya untuk berolah raga setelah sholat shubuh dengan lari 5 kilo meter di sekitar rumahnya. 

Mentari menyambutnya dengan baik, Abah mengambil perkakasnya untuk memelihara tumbuhan toga yang dimilikinya. Selalu bahagia dan menjalani dengan rasa syukur yang berlimpah menjadi candu tersendiri dalam diri Abah. Walau sebenarnya uang pensiunan beliau yang diterimanya setiap bulan, hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Jika pun ada tambahan, biasanya didapat dari para peminjam koleksi buku serta majalahnya. Sehari biasanya abah dapat 10.000-20.000, bahkan tak jarang abah hanya mengantongi Rp 3.000 per harinya. Sungguh perjuangan abah yang tiada terperi berhias keikhlashan hati dengan langkah penghambaan yang tinggi. 

Karena minimnya jumlah majalah, pernah dalam kurun waktu tiga bulan Abah tidak berkeliling kampung untuk menawarkan koleksinya. Banyak pembacanya yang komplain karena majalah yang dibawanya sebagaian besar telah usang. Sehingga, kondisi itu cukup menahan Abah untuk tidak berkeliling karena tidak ada lagi majalah dan buku baru yang abah dapatkan. Namun syukurlah, saat ini paling tidak setiap tiga bulan sekali kiriman majalah datang, tapi kadang-kadang bisa sampai lebih dari tiga bulan tidak datang. Mayoritas majalah yang datang tidak disertai dengan alamat pengirim, padahal Abah ingin mengucapkan rasa terimakasih atas bantuan yang telah diberikan. Dan tak jarang pula, Abah menerima telepon dari para donatur buku untuk datang mengunjugi rumah mereka dan mengambil buku-buku bekas mereka. Dengan senang hati, Abah akan menjemput benih-benih harapannya tersebut. Dan disetiap pengambilan koleksi yang diberikan donatur, mempunyai kesannya tersendiri. Kesan yang paling melekat pada ingatannya adalah ketika ia mengambil buku-buku bekas, Abah selalu diperlakukan dengan baik bahkan bak seorang raja. Abah bahkan tak mengira bahwa kebaikannya selama ini membawa dampak pada dirinya seperti ini. 

Sejak awal meminjamkan majalah serta buku kepada warga banyak suka serta duka yang dialaminya. Namun Abah menjalaninya dengan perasaan senang, dan duka tidak pernah ia larutkan dalam formulasi kehidupannya. Misalnya ada yang meminjam majalah, kemudian mengembalikannya dalam keadaan sudah sobek atau digunting bahkan hilang. Tapi Abah tidak pernah menuntut mereka untuk mengganti rugi atau hingga memarahi mereka. Karena Abah khawatir mereka tidak ingin membaca kembali dan kapok untuk meminjam majalah. Abah sadar betul jika para pembacanya tersebut adalah raja, dan raja harus dilayani dengan sebaik-baiknya. 

Dukungan tak hanya datang dari anak-anak Abah. Pendamping hidup, teman saat mengucap janji di hadapan Tuhan, istrinya, tak pernah lelah mendampingi serta memberikan motivasi kepada Abah. Mulai dari menyiapkan majalah untuk dibawa, hingga dukungan moril ketika abah hampir putus asa. Terutama ketika awal-awal abah menawarkan majalah kepada warga, ada banyak cemoohan dan ejekan datang dari masyarakat sekitar. 

Abah masih ingat dengan kejadian yang sangat menyakitkan baginya. Berawal dari kisah seseorang yang kerapkali memperkosa anak-anak di lingkungan Abah tinggal. Sonar gosip di daerah perkampungan gang padat tentunya lebih kencang, dan itu membuat Abah terkena imbas dari perbuatan orang tersebut. Anak-anak dilarang oleh orang tua mereka masing-masing karena ditakut-takuti bahwa Abah adalah seorang pedhopil. Abah mengetahui hal tersebut dari istrinya, namun mereka berdua hidup saling bersinergi, saling menenangkan. Dengan kondisi kekahawatiran seorang istri pada suaminya, Abah berkata pada ibu dengan tenangnya “Allah Maha Tahu bu... tahu apa yang ada di hati setiap manusia. Abah melakukan seperti ini karena Allah. Biarkan saja mereka berkata seperti itu, yang terpenting adalah kita tidak berbuat demikian”, rasa meyakinkan Abah pada istrinya tercinta memberikan kekuatan tersendiri bagi ibu untuk terus setia di setiap langkah perjuangannya. Bagi istrinya, Heni Saeni, Abah hampir tidak pernah mendapati suaminya mengeluh. Dan ibu pun sudah terbiasa dengan kegiatan suaminya yang telah digeluti sejak 1986 itu. 

Cibiran, cemoohan dan ucapan-ucapan sinis seringkali diterimanya. Namun, ia tidak pernah menyerah, justru hal itulah yang memotivasi Abah untuk menumbuhkan minat baca masyarakat dan membuktikan bahwa ini semua akan berbuah hasil yang manis. Abah sendiri bingung, mengapa ia bisa sekuat ini menghadapi segala tentangan serta tantangan dalam menjalani ini semua, namun Abah memaknainya sebagai inilah perjuangan bukti pengabdiannya pada Tuhan semata. 

Kegigihannya dalam menyebarkan semangat membaca baru tercium oleh media pada tahun 1994 oleh majalah Mangle, puncaknya pada tahun 2007 Abah sering diwawancarai para pemburu berita, hingga wartawan gadungan pun kerapkali mewawancarainya dan memintainya uang. Dari pemberitaannya di media massa, memberi berkah tersendiri bagi kehidupan abah selain mendapatkan donasi koleksi, Abah juga telah mendapatkan beberapa penghargaan dari IKAPI, pemerintah Purwakarta, dan Perpustakaan Nasional pada tahun 2009. Penghargaan pertamanya adalah penghargaan dari IKAPI sebagai penggiat perpustakaan tradisional. 

Penghargaan yang didapatnnya pada bulan Februari 2009 tersebut memiliki kesan tersendiri dalam perjalan hidup Abah. Saat itu hujan deras mengguyur kota Purwakarta, Abah tahu bahwa ia harus menerima penghargaan tersebut yang berlokasi di Bandung. Dengan sebuah keyakinan penuh, Abah bergegas untuk menuju Bandung ke lokasi tempat penerimaan penghargaan. Acara penerimaan penghargaan berlangsung pukul 08.00 WIB dan Abah didampingi oleh 4 orang karyawan Pemerintahan Daerah yang mereka meminta Abah untuk ke kota Purwakarta agar mereka bisa menggunakan akses jalan tol menuju Bandung. Abah yang lugu ini menurut saja apa kata mereka. Cuaca yang kurang bersahabat pun diterjang oleh Abah. Saat matahari belum beranjak bersinar, Abah sudah harus berangkat ke kota Purwakarta. Ditemani hujan deras dan berkendaraan ojeg, Abah menutup kepalanya dengan kantong kresek agar tidak basah. Saat itu pun abah belum sempat sarapan karena Abah sangat menghargai tawaran orang-orang Pemda untuk mendampinginya dalam perhelatan penerimaan penghargaan tersebut. 

Sesampainya di sana, Abah tiba dengan kondisi basah kuyup, namun entahlah apa yang ada di pikiran para orang Pemda yang mengantarnya, mereka sama sekali tidak peduli dengan apa yang terjadi pada Abah. Abah tetap tenang walau dirasa tubuhnya makin kurang bersahabat selama perjalanan menuju Bandung. Singkat cerita, penghargaan telah diterimanya. Dengan sifatnya yang santun Abah berpamitan kepada penyelenggara acara tersebut dan berharap penghargaan tersebut memberikan kontribusi positif bagi perpustakaan yang telah diperjuangkannya selama ini. 

Pada tahun 2009, Abah berkesempatan untuk bisa umroh atas biaya dari Bupati Purwakarta. Itu pun jika diceritakan oleh Abah, seringkali masih tidak percaya. Berawal dari telpon dari kantor Pemda yang meminta Abah untuk datang ke kantor. Abah khawatir dengan apa yang akan terjadi karena sifatnya yang mendadak. Namun, ibu dengan sigapnya menenangkan Abah, dipersiapkannya segala keperluan Abah untuk mengahadap Bapak Bupati. Sesampainya di kantor bupati, dengan kepolosannya Abah bertanya perihal apa yang membuat Abah bisa diundang menghadap Bupati tersebut. Sang Bupati tersenyum dan dengan kuasanya dia bercerita bahwa terdapat sisa satu tiket untuk bisa umroh dan Bupati terpikir Abah lah orang yang tepat mendapatkannya. Rasa takjub menyelimuti hati Abah, karena Abah tidak pernah mengira ini semua. Bupati pun meminta Abah untuk segera menyelesaikan hal-hal administratif seperti paspor dan yang lainnya di Bandung selama 3 hari. 

Selama perjalan pulang dari kantor bupati, Abah seperti mengawang dengan apa yang barusan saja terjadi dan segera menceritakannya pada istri tercintanya. Dengan bantuan anak-anaknya, urusan administratif telah diselesaikannya. Abah mengadakan pengajian kecil-kecilan dengan para tetangganya sebagai wujud memohon doa restu dan salah satu tetangganya memberikan selembaran uang 50.000 untuk bekal disana katanya. Sambil mengerutkan keningnya Abah mengucapkan banyak terimakasih kepada tetangganya tersebut
.
Keesokan hari saat Abah akan berangkat, wajah cemas menyeruak istrinya dengan bertanya pada Abah, “Pak, gimana ini.. kita kan gak punya uang buat bekal di sana..” dengan santai dan mantap Abah menenangkan hati istrinya, “Tenang mah.. bapak kesana untuk ibadah, bukan untuk belanja. Jadi mamah gak usah khawatir.. ada Allah yang mengongkosi perjalanan Bapak..”. Sejuk terasa apa yang dikatakan Abah pada istrinya, dan itu memberikan kepercayaan tersendiri bagi ibu untuk bisa merelakan ayah, suami, serta guru kehidupannya tersebut untuk menjalankan haji kecil dengan hanya berbekal uang Rp. 50.000 dari tetangganya. 

Abah berangkat bersama rombongan dari berbagai profesi seperti atlet, para pejabat pemerintahan, dan orang-orang yang dinilai berjasa bagi kota Purwakarta termasuk Abah. Ini pertama kalinya abang naik pesawat, Abah jadi teringat semasa kecil ketika melihat pesawat akan berteriak, “kapaaal,...kapaaaal… menta duit euy..!” sambil mengejar pesawat bersama teman-temannya, dan kini ia ada dalamnya. 

Pesawat transit di Madinah, Abah bergegas untuk melaksanakan sholat Ashar. Sisi mushola dengan tempat wudhu saling bersebrangan dan itu cukup jauh. Saat akan mengambil air wudhu, Abah menemukan empat orang wanita yang duduk tak beraturan di lantai mereka saling menuduh yang Abah sendiri tak tahu apa maksud mereka masing-masing, terlihat oleh abah raut mereka yang marah dan menangis. Dan hal yang paling mengejutkan bagi Abah adalah mereka berbicara dalam bahasa Sunda. Tapi Abah segera teralihkan, ia harus segera menunaikan sholat ashar-nya. Seselesai sholat, Abah menuju ke tempat di mana tadi ia menemukan sekelompok wanita tadi. Rasa penasarannya membuat ia bertanya ada apa yang sebenarnya terjadi. Lalu salah satu wanita bercerita, bahwa mereka telah tertipu oleh seorang joki penukar uang dan sekarang mereka tidak memiliki uang sama sekali. Abah terenyuh hatinya, iba mendengar hal tersebut Abah memberikan uang sakunya yang Rp 50.000 tersebut yang telah ditukarnya menjadi 4 real. Dibagikannya kepada empat orang wanita tersebut, masing-masing 5 real. Dan sekarang abah sama sekali tidak memiliki bekal sepesrrpun. Abah tidak pernah merasa berat dalam berbagi, karena bagi Abah filosofi hidupnya adalah hidup bagaikan semut yang selalu berbagi, dengan begitu tidak ada manusia yang egois. 

Di Mekkah, Abah melaksanakan ibadah dengan khusyuk penuh dengan rasa penghambaan yang menakjubkan di mana Abah seringkali mendapatkan berbagai kemudahan dalam mejalankan ibadah seperti saat mencium hajar aswad, berziarah di makam Nabi Ibrahim, dll. Abah sangat menikmati, mensyukuri atas undangan-Nya sehingga Abah bisa melihat sendiri betapa menggetarkannya ka’bah di hadapannya yang selama ini menjadi kiblat sholatnya. Dan tak terasa sudah saatnya harus pulang, rasa sedih haru bercampur tak rela dengan kerinduan yang rasanya tak mau dipisahkan ketika harus meninggalkan tanah suci. Abah tahu, Abah harus ikhlas, pada saatnya nanti jika Allah berkehendak, ia pasti akan kembali ke Rumah Allah tersebut. 

Tak terasa apa yang telah diperjuangkan Abah mendatangkan penghargaan-penghargaan yang memberikan makna tersendiri bagi hidup Abah. Di antaranya adalah penghargaan Layang Pangajen Bupati Purwakarta tahun 2009, Nugra Jasadarma Pustaloka tahun 2009, dan penghargaan lainnya. Abah telah menuai apa yang telah ia tabur selama ini. Perjuangan yang tidak mudah menghadapi cercaan cemoohan orang-orang dalam melakoni perannya. 

Makna penghargaan bagi Abah adalah motivasi untuk terus berprestasi. Dengan apa yang telah abah lakukan ini Abah telah bisa umroh, apalagi jika melakukan lebih dari ini, mungkin Abah akan mendapatkan yang lebih baik. Kini, banyak kasus seseorang yang mengejar sebuah penghargaan agar bisa menaikan prestise pribadi. Tapi bagi Abah pribadi penghargaan itu diberikan oleh orang lain. Bukan kita yang mengajukan karena jika itu terjadi, maka kita berharap bayaran dari jasa kita.”

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "John Wood From Gunung Hejo Purwakarta"

Post a Comment